Perdamaian dan Inklusivitas: Apa yang Perlu Didengar Pemerintah Terhadap Permasalahan Inklusivitas?

oleh Nurul Istiqomah

Dari rakyat, untuk rakyat, dan kembali ke rakyat. Ini merupakan sebuah slogan demokrasi yang seharusnya menjadi sebuah hal yang selayaknya bukan menjadi impian, namun menjadi sesuatu hal yang memang sewajibnya menjadi prinsip bernegara bagi setiap pemerintah yang sudah diberikan mandat. Namun, jika kita secara spesifik membahas mengenai inklusivitas dan sejauh mana perspektif keberpihakan pemerintah dalam memelihara inklusivitas demi agenda perdamaian dan toleransi, kita harus peka dengan dinamika sosial yang merupakan konsekuensi logis dari ketidakterwakilannya kelompok marjinal dalam skema pembuatan keputusan dalam pertemuan eksekusi kebijakan.

Kembali membicarakan tentang toleransi, pasti tidak terlepas dari konteks “toleransi yang mana dulu nih?”. Pertanyaan itu sebenarnya cukup meminggirkan kelompok tertentu. Seyogyanya untuk menjadi manusia, tidak perlu melakukan tebang pilih seperti itu untuk saling menghormati. Menjadi manusia yang utuh adalah sebuah HAK bukan sebuah undian dimana ketenangan hidup kita hanya untuk hidup sendiri ditentukan oleh orang lain. Saya bisa mengatakan begitu karena banyak sekali diskriminasi berbasis prasangka, baik kultural maupun struktural. Diskriminasi tersebut sering dalam bentuk yang multi-sektoral, baik diskriminasi gender, orientasi seksual, agama, disabilitas, hingga bahkan bersifat interseksional atau berlapis.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, diskriminasi juga dapat dilakukan secara struktural. Karena basis paham yang dimiliki para pengampu kebijakan adalah “common sense”, maka implementasi kebijakan sering kali berperspektif mayoritas. Hal tersebut menyebabkan kurangnya representasi dari para kaum marjinal dalam menyuarakan kebutuhannya. Kebutuhan pengakuan institusional, pemenuhan akses dalam mobilisasi, pemberian ruang aman dalam hal berekspresi, mendapatkan perlindungan dari represi, terbebas dari stigma, dan memiliki agensi untuk menentukan pilihannya sendiri dengan aksesibilitas yang setara.

Ketika sesama orang yang terpinggirkan saling membandingkan, berarti dunia sedang tidak baik-baik saja.
— Nurul Istiqomah

Inklusivitas memiliki keluasan konteks. Inklusivitas mencakup bagaimana negara dapat memfasilitasi dan keluar dari perspektif “common sense” dan memiliki kedalaman perspektif dalam memahami masyarakat pada tiap-tiap lapisan sosial. Misalnya, kelompok marjinal semacam difabel, perempuan, anak, masyarakat adat, hingga queer. Inklusif dalam skema kebijakan juga dapat berupa penjangkauan akses-akses negara secara mandiri, hingga perlindungan, dan banyak hal lainnya.

Memang meminta terlalu banyak kebijakan yang ideal membuat pengampu kebijakan untuk belajar lagi, mulai sedasar menjadi berempati, maupun mengembangkan kepekaan dan akan bertemu dengan banyak orang yang mungkin mereka akan tidak ingin menemuinya jika bukan karena tugas. Namun, hal itu merupakan sebuah keharusan, jika membicarakan mengenai inklusivitas atau malah perdamaian. Bagaimana kita bisa berdamai jika kita tidak dapat berempati, atau bahkan tidak pernah mendengarkan perspektif dari seseorang yang diajak damai.

Maka dari itu, sebelum membicarakan perdamaian, inklusivitas, keberterimaan, atau terserah pembaca akan menamainya apa, mari kita merefleksikan diri kita sendiri: sampai sejauh mana kita mengartikan perdamaian? Sampai mana kita dapat mengimplementasikan perdamaian? Sejauh mana kita sudah berdamai dengan keberagaman di sekitar kita? 

Banyaknya diskriminasi terjadi pada kelompok marjinal tidak hanya berdasarkan suara mereka yang tidak didengar. Namun, lebih dari itu, hak untuk hidup saja mereka sering terancam. Padahal, hak tersebut merupakan hak paling dasar yang harus dimiliki semua orang.

Contoh yang paling jelas adalah diskriminasi yang dialami oleh orang dengan gangguan mental. Orang dengan gangguan mental dapat dikatakan mengalami invisible disability. Dimana, ketika mereka sudah pulih, siapa mengira mereka adalah seseorang yang merupakan penyintas skizofrenia, misalnya? Kita dapat menyebut mereka penyintas, konsumen, atau survivor. Namun, jika direfleksikan, apakah sebenarnya kebutuhan mereka sudah terpenuhi? Diskriminasi sering mereka dapatkan, tidak pada saat mereka sudah pulih dan berdaya, namun ketika mereka pertama kali keluar dari Rumah Sakit Jiwa, misalnya. Mereka seringkali mendapatkan diskriminasi seperti pengucilan karena dianggap menular, menimbulkan kekerasan, atau malah lemah dan tidak dapat dipercaya. Saya pernah berbicara dengan seorang penyintas bipolar, dan ia mengatakan, “I wish I had physical disability”.

Ketika sesama orang yang terpinggirkan saling membandingkan, berarti dunia sedang tidak baik-baik saja. Ini baru satu bentuk. Namun, sebenarnya, disabilitas yang nampak juga tidak terlepas dari diskriminasi dan peminggiran dalam ranah struktural. Sebagai contoh, eksklusi di fasilitas umum yang dialami penyandang disabilitas merupakan efek  representasi dari pihak birokrasi, baik pemerintah maupun universitas, yang masih berperspektif “orang normal”. Perspektif ini membuat fasilitas daksa menjadi sekedar berada pada level program pembangunan yang sebatas proyek saja.

Saya paham bahwa basis diskusi yang mengarah pada pengadvokasian para disabilitas memang cukup gencar, bahkan pada level struktural dan kebijakan. Namun, pemantapan perspektif juga harus perlu terus-terusan diasah hingga kebijakan inklusif terlaksana dengan perspektif penerima manfaat. Menurut saya, prasangka yang ditimbulkan dari buramnya empati membuat pemetaan kebijakan menjadi semakin sulit. Akses dalam menyuarakan pendapat yang terkadang tidak terpenuhi, bahkan kriminalisasi, kerap terjadi pada ruang-ruang dialog yang digadang sebagai demokratis.

Saya ingin pembicaraan mengenai perdamaian tidak hanya berhenti pada kata-kata dan harapan, namun tertuang dalam skema implementasi yang melibatkan “kaum” yang menjadi sasaran penerima manfaat. Dengan begitu, kebijakan yang dibuat menjadi tepat sasaran dan tidak boros anggaran.

Previous
Previous

Memaknai Hari Perempuan Internasional Dengan Lebih Mengenal Diri Sendiri

Next
Next

Mengatasi Stigma Reproduksi Perempuan melalui Menstrual Hygiene Management di Universitas