Memaknai Hari Perempuan Internasional Dengan Lebih Mengenal Diri Sendiri

oleh Khansa Sulthanah Rumi

Bulan Maret merupakan bulan yang cukup spesial bagi para Perempuan, termasuk diri saya. 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional, sebuah momentum yang ditunggu-tunggu dan menjadi refleksi bagi semua: apakah kita sudah cukup aman dan setara dalam berbagai hal?

Jika melihat kilas balik, di tahun 1857 di New York, Amerika Serikat, untuk pertama kalinya para buruh Perempuan melakukan aksi demonstrasi. Pada 8 Maret 1975, mereka melakukan tuntutan terkait upah yang minim dan harga pokok pangan yang terbilang mahal. Namun, apa daya saat itu suara perempuan tetap dianggap angin lalu.

Tanggal 8 Maret 1907, perempuan kembali mengorganisir diri dan melakukan pergerakan untuk kembali menyuarakan hak mereka. Tuntutan ditambah menjadi hak untuk bersuara dan berpendapat. Lalu, di tahun 1977 dengan resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati Hari Perempuan Internasional.

Saya pribadi melihat hal ini menjadi suatu dorongan kuat untuk ingat bahwa perempuan juga bisa setara dalam hal apa pun. Saya teringat ketika umur saya masih 16 tahun—kira-kira masih SMA, saya mulai bertanya-tanya, “Rasanya kok menjadi perempuan seakan mendapat masalah tambahan karena jenis kelaminnya ya?” Saya mulai merasa bahwa pergerakan perempuan seperti dibatasi, terutama jika dibandingkan dengan laki-laki, mereka lebih punya kesempatan yang terkadang tak bisa perempuan dapatkan.

Saya juga pernah melihat sebuah postingan di Instagram: seorang laki-laki yang bisa sekolah sampai jenjang doktoral pada sambutannya meminta maaf kepada kakak perempuannya karena telah berkorban untuk tidak melanjutkan sekolah agar laki-laki itu bisa menempuh perkuliahan. Membaca cerita itu, saya merasa sangat sedih dan miris. Jika ditanya, mungkin beberapa keluarga yang hanya bisa membiayai satu anak akan memprioritaskan yang laki-laki. Alasan klasik yang bisa ditebak semua orang adalah “karena laki-laki nanti jadi kepala keluarga; dia harus mencari nafkah lebih untuk keluarganya.” Lalu, muncul lagi pertanyaan dalam diri saya, “Lho, memang perempuan nggak bisa cari nafkah untuk keluarganya? Kenapa harus laki-laki? Kenapa?”

Masa depan perempuan yang dibatasi dengan hanya berkutat pada kasur, sumur, dan dapur menurut saya adalah kekerasan paling keji yang harus kita lawan. Perempuan dianggap kurang mampu dan kurang pandai untuk bisa menempati posisi dan tanggung jawab tertentu. Cara berpakaian, berbicara, berperilaku, sampai pilihan hidup perempuan dipaksa untuk mengikuti standar moral patriarki yang harus dipenuhi, dan jika tidak bisa maka perempuan akan terus disalahkan dan dihina: “Kamu sih kaya begitu! Makanya jadi perempuan itu yang benar!”

Sejak kuliah, saya mulai tertarik untuk mengikuti isu perempuan. Saya mulai berjejaring dengan kawan-kawan puan dari berbagai universitas. Ini membuat saya makin merasa yakin bahwa ada sesuatu di diri perempuan yang dicap sejak lahir oleh budaya patriarki untuk terus tunduk dan tidak merasa bebas. Saya mulai belajar dan membaca buku-buku feminis, bolak-balik diskusi, sampai ikut aksi demonstrasi. Rasanya semua itu seperti “mencharger diri” saya untuk terus membawa api amarah demi kesetaraan.

Setiap turun aksi, di dalam diri saya penuh dengan harapan: “Semoga anak perempuan gue nanti nggak akan pernah dihakimi karena cara berpakaiannya, bebas dari segala jenis pelecehan dan kekerasan, bergerak bebas dan tidak takut bersuara, punya mimpi setinggi mungkin, dan bisa setara dalam hal apapun.” Kurang lebih seperti itu harapan-harapan tadi menjadikan diri saya untuk terus bergerak.

Saya melawan rasa takut, menjauhi semua dikte-dikte dari sisi mana pun. Saya selalu berharap semua perempuan juga bisa memaknai dan mendefinisikan kebahagiaan, keutuhan, dan kehidupan mereka tanpa intervensi dari siapa pun. Hari Perempuan Internasional menjadi refleksi diri saya sendiri: memerhatikan perjalanan saya untuk lebih mengenal diri sendiri agar bisa terus belajar adil secara pikiran dan perbuatan, memberikan ruang aman bagi semua, serta menjadikan diri bermanfaat bagi orang banyak.

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Previous
Previous

Bagaimana Kinerja Indonesia dalam Menjaga Nilai-nilai Kesetaraan Gender di Kancah Dunia?

Next
Next

Perdamaian dan Inklusivitas: Apa yang Perlu Didengar Pemerintah Terhadap Permasalahan Inklusivitas?