Mengatasi Stigma Reproduksi Perempuan melalui Menstrual Hygiene Management di Universitas

oleh Aisya Sabili

Menstruasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena berhubungan dengan siklus biologis dan reproduksi, tapi sayangnya masih sering luput dari perhatian atau dianggap tabu sebagai topik pembicaraan bahkan di lingkungan kampus sekalipun.

Padahal, stigma dan norma sosial yang mengelilingi diskusi kesehatan reproduksi, khususnya menstruasi, sejatinya memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan psikologis sekaligus fisik mahasiswi karena stereotip negatif dan kurangnya edukasi yang memadai dapat menyebabkan kebingungan serta ketidaknyamanan kolektif, sehingga pada akhirnya menghambat partisipasi perempuan secara maksimal dalam kegiatan akademik maupun sosial di kampus. Banyak juga peneliti yang menunjukkan bahwa menghadapi stereotype threat, atau risiko mengkonfirmasi stereotip negatif tentang kelompok sosial sendiri, dapat menurunkan kinerja kognitif perempuan.

Permasalahan yang dihadapi perempuan di lingkungan akademis tidak hanya tentang seputar stigma sosial atau kurangnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi saja, tetapi juga tentang implementasi praktis dari Menstrual Hygiene Management (MHM) atau Manajemen Kebersihan Menstruasi yang efektif.

MHM adalah kebutuhan khusus kebersihan dan kesehatan bagi perempuan selama masa menstruasi, termasuk pengetahuan, informasi, bahan, dan fasilitas yang diperlukan untuk mengelola menstruasi secara efektif. Pengelolaan MHM sangat memerlukan transformasi paradigma yang menyeluruh. Inisiatif ini lebih dari sekedar dorongan untuk pemenuhan kebutuhan karena merupakan perjuangan untuk mengakui dan menghormati hak-hak perempuan atas pendidikan, kesehatan, serta partisipasi sosial yang setara.

Bagaimana Masyarakat Mempersepsikan Menstruasi: Pernyataan Labelling Vs. Kenyataannya

Rintangan penerapan menstrual hygiene management di tempat umum ini juga efek domino dari bagaimana masyarakat mempersepsikan menstruasi itu sendiri karena stereotip dapat menciptakan realita tertentu–dalam konteks ini adalah lingkungan di mana perempuan merasa harus menyembunyikan proses biologis alami mereka–yang pada gilirannya memperkuat tabu seputar menstruasi.

Menstruasi Sebagai Kondisi “Tidak Bersih”

Dalam beragam tradisi dan kepercayaan, menstruasi seringkali diinterpretasikan sebagai periode “tidak suci”, tetapi interpretasi ini mungkin telah menyimpang dari maksud aslinya.  Secara ilmiah, menstruasi merupakan indikator penting dari kesehatan reproduksi dan memang bukan tentang ketidakbersihan atau ketidaksucian. Sood dalam penelitiannya yang berjudul Everywhere is Nowhere: A Systematic Review of Menstrual Health and Hygiene Management (MHHM) as a Human Right menegaskan bahwa MHM merupakan hak asasi yang berkaitan erat dengan kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan gender. Pendekatan yang berorientasi kepada hak ini bak ajakan untuk menganggap menstruasi sebagai proses biologis yang memerlukan dukungan dan pemahaman, bukan stigmatisasi atau pengucilan.

Dalam beberapa tradisi, pandangan tentang menstruasi sebagai periode “tidak suci” sebenarnya bertujuan untuk menghormati dan memberikan ruang bagi perempuan yang mengalami menstruasi, mengakui bahwa ini bisa menjadi waktu yang menantang secara fisik dan emosional. Namun, kekeliruan interpretasi dan ketidaktepatan praktik budaya telah menyebabkan pandangan negatif terhadap menstruasi serta memengaruhi pengalaman perempuan.

Ajaran agama Islam sendiri secara eksplisit menolak stigma seputar menstruasi, tercermin dari interaksi Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA (Shahih Bukhari no. 715), di mana ketika Aisyah RA diminta untuk mengambil pakaian dari dalam masjid dan menyatakan bahwa dirinya sedang menstruasi, Nabi Muhammad SAW menjawab, "Haidmu itu bukan di tanganmu," beliau menegaskan bahwa menstruasi tidak membuat perempuan menjadi kotor dan bukan lah halangan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Dengan memberikan keringanan dalam ibadah, Islam tidak hanya mengakui tetapi juga mengapresiasi pengalaman reproduktif perempuan, bukan sebagai indikasi inferioritas apalagi penistaan terhadap tubuh perempuan.

Menstruasi Harus Dirahasiakan

Faktanya, menyelimuti menstruasi dengan kerahasiaan justru hanya akan memperkuat stigma dan mengisolasi individu yang menstruasi. Dalam banyak kelompok masyarakat, perempuan diajarkan untuk menyembunyikan menstruasi mereka, mulai dari menyembunyikan pembalut saat menuju ke kamar mandi atau membeli di toko hingga merasa malu untuk bertanya atau berbicara tentang kesehatan reproduksi. Fenomena ini bukan hanya tentang rasa malu pribadi, tetapi telah berkembang menjadi trauma kolektif keperempuanan, di mana kejadiannya sudah turun-temurun dari ibu ke anaknya melalui ajaran atau keengganan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Analisis lain yang menyoal mitos ini juga diungkap di dalam sebuah skripsi berjudul Konstruksi Wacana dan Komodifikasi Menstruasi dalam Iklan Pembalut di Indonesia oleh Puspita. Dalam upaya menghindari penyebutan langsung terhadap menstruasi, iklan pembalut seringkali berlindung di balik eufemisme seperti "lagi dapet" atau "datang bulan". Lebih lanjut, iklan ini memanfaatkan metafora seperti tornado, air bah, dan tempat tidur berbentuk pembalut raksasa untuk menggambarkan menstruasi, mengasosiasikannya dengan bencana alam yang mengancam estetika dan kenyamanan perempuan. Pilihan warna biru untuk darah menstruasi– biru biasanya dianggap sebagai warna yang menyimbolkan kebersihan (steril) dalam dunia medis–menghindari konotasi negatif darah yang kotor, mencerminkan upaya untuk menavigasi tabu menstruasi dalam masyarakat.

Trauma kolektif ini diperkuat oleh narasi-narasi sosial yang menggambarkan proses biologis sebagai tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka. Chris Bobel, dalam bukunya The Managed Body: Developing Girls and Menstrual Health in the Global South, menantang narasi ini dengan menunjukkan bahwa pembicaraan terbuka tentang menstruasi, termasuk di lingkungan kampus, justru dapat memecahkan stigma dan mempromosikan kesadaran serta empati.

Hanya Perempuan yang Perlu Mengetahui tentang Menstruasi

Pemahaman tentang menstruasi tidak seharusnya menjadi wilayah pengetahuan yang eksklusif bagi perempuan saja. Dalam lingkungan kampus, di mana struktur kepemimpinan dan pengambilan keputusan sering didominasi oleh laki-laki, kurangnya kesadaran tentang isu menstruasi bisa mengakibatkan kebijakan dan fasilitas yang kurang mendukung kebutuhan mahasiswi. Ini bukan selalu karena sifat apatis atau tidak peduli, tetapi lebih sering karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang menstruasi dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari perempuan. Studi berjudul “Engaging boys in menstrual hygiene management (MHM) interventions in Bangladeshi schools: a pilot study to assess acceptability and feasibility” telah menunjukkan bahwa pendidikan yang melibatkan laki-laki dalam pemahaman tentang menstruasi dapat membantu dalam membangun empati dan mendukung lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung di kampus.

Meningkatkan rasa empati dan pemahaman di kalangan laki-laki tentang menstruasi tidak hanya akan membantu dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung di kampus, tetapi juga dalam kehidupan pribadi mereka. Edukasi yang efektif dapat mengubah cara laki-laki merespon dan mendukung perempuan dalam menghadapi tantangan menstruasi, dari sekadar menawarkan solusi sederhana seperti “minum air putih” menjadi tindakan bermakna yang lebih mendukung kenyamanan perempuan–seakan mereka sedang ada di posisi tersebut.

Pengalaman Beberapa Mahasiswa dari Kampus Berbeda di Yogyakarta dan Sekitarnya

Dalam mengurai kompleksitas isu menstruasi di lingkungan akademis, respons langsung dari mahasiswi dapat menawarkan wawasan yang mendalam tentang bagaimana stigma dan norma sosial berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari mereka. Seluruh informasi yang akan dianalisis berikut ditarik melalui Google Forms dan telah berhasil mengumpulkan respons dari mahasiswa yang berasal dari setidaknya 10 universitas di Yogyakarta dan sekitarnya dengan cakupan berbagai disiplin ilmu.

 

"Ada satu dosen laki-laki yang pernah secara jelas mengatakan di kelas saya, “Jika kalian absen karena nyeri haid, saya akan tetap menghitung itu sebagai absen. Tetapi, jika nyeri itu tidak bisa ditoleransi dan mengganggu aktivitas secara signifikan, hubungi saya dan kita bisa mempertimbangkannya.”

 

Pernyataan dari dosen tersebut, meskipun tampaknya mencoba mengakomodasi, sejatinya masih menempatkan beban bukti kepada mahasiswi untuk membuktikan “keparahan” kondisi mereka. Pendekatan semacam ini, sementara mungkin dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kebijakan, secara tidak langsung mempertahankan stigma bahwa menstruasi adalah kondisi yang bisa ditahan atau diabaikan, bukan sesuatu yang memerlukan pengertian dan dukungan yang nyata.

 

"Pernah beberapa kali izin engga ikut bimbingan ataupun ngerjain Capstone bareng. Kelompok ku isinya cowo semua dan dospemnya juga cowo. Mereka biasa aja, teman-teman juga bilang, 'get well soon yaa.'"

 

Di sisi lain, ada ungkapan dari seorang mahasiswi yang merasa diterima dan didukung oleh rekan-rekan beserta dosen laki-lakinya ketika harus izin tidak mengikuti rangkaian kegiatan Capstone Project karena sakit menstruasi. Respons positif ini menunjukkan bahwa ada kemajuan dalam pemahaman dan empati terhadap isu menstruasi, tetapi juga tetap menggarisbawahi bahwa pengalaman semacam ini masih terlalu dinamis, tidak konsisten, dan sangat bergantung ke faktor individu serta lingkungan tertentu.

 

"Aku biasanya memilih untuk tidak berangkat ke kampus (seringnya waktu menstruasi sudah terdeteksi malam sebelumnya, atau sangat pagi)."

 

Respons tersebut menunjukkan bahwa menstruasi ternyata memengaruhi keputusan dalam menghadiri kegiatan akademik. Di situasi ini mereka kerap dihadapi pilihan antara mementingkan kesejahteraan fisik atau kewajiban akademik.

Hal ini sudah dikaji oleh sebuah studi oleh Nomani yang mengeksplorasi karakteristik menstruasi dan dampaknya terhadap kinerja akademik, khususnya dismenore (nyeri menstruasi) yang berhubungan erat dengan kecemasan dan absensi dari institusi tempat belajar. Dari situ terbukti bahwa pengalaman menstruasi yang menyakitkan menyebabkan kekhawatiran dan gangguan signifikan terhadap kehadiran serta kinerja akademik peserta didik karena gangguan ini biasanya mencakup nyeri fisik dan sulitnya berkonsentrasi.

Odah dalam Gender and Belief about Menstruation and Academic Performance pun juga mendukung dengan data, yaitu sekitar 28.72% responden penelitiannya merasa kesulitan untuk belajar maupun aktif selama menstruasi.

 

"Tapi pernah juga temen engga bawa (pembalut) akunya juga engga bawa, terus ditahan-tahan beli dulu ke kopma hmmmm jalan sampil njepit-njepit supaya kagak deres. Sungguh menyiksa."

 

"Pernah juga day 1 di kampus tapi aku kebetulan lagi engga bawa pembalut. Panik kecil, waktu itu pacarku nawarin buat bawain pembalut sama jajan gitu tapi aku engga mau ngerepotin. Terus temenku ada yang bawa."

 

"Satu-satunya kendala saat menstruasi tu LUPA BAWA PADS. Kek aku langsung ngibrit ke fisipmart biar engga bocor huhu."

 

"Waktu hari pertama mens, rasanya sakit bgt. itu terjadi waktu jam kuliah. kaya engga enak bgt gitu semuanya."

 

"Day 1-3 biasanya sakit BANGET (perut, sebadan pegel, mood engga jelas), harusnya dibawa tiduran baru ngerasa mendingan."

 

Pengalaman kolektif seperti ini seharusnya sudah cukup mendorong urgensi diadakannya fasilitas yang menyediakan pembalut gratis, ibuprofen, dsb sebagai solusi untuk situasi darurat. Respons mahasiswa yang menggambarkan rasa sakit intens selama menstruasi membutuhkan bermacam strategi untuk mengatasinya dan seringkali dependen terhadap fasilitas di situasi tertentu.

Penanganan hal tersebut telah teruji dalam penelitian “Sometimes I just forget them”: capturing experiences of women about free menstrual products in a U.S. based public university campus yang menyebutkan bahwa dampak dari program penawaran produk menstruasi gratis di kampus Purdue University di Amerika Serikat telah memiliki dampak positif yang signifikan untuk pengalaman menstruasi mahasiswi di lingkungan kampus. Pengalaman baik ini nantinya akan berdampak paralel dengan motivasi keaktifan mahasiswi.

Tidak hanya produk menstruasi gratis, Peningkatan ruang privat juga harus diperlukan agar mahasiswi lebih tenang dan yang nyaman dalam mengelola menstruasi–dengan disediakannya bilik ruang aman, air bersih, WC higienis, wastafel, tisu, serta sabun di dalam sekaligus di luar toilet. Semua masukan teknis ini dapat dipertimbangkan dalam membangun ‘period policies’ untuk kampus.

 

"Waktu pacaran dulu, the fact tiap menstruasi dan jalan sama mantan dan waktu aku beli pembalut dia malah malu hahaha. sometimes, i feel 'aku bikin dia risih ga ya kalo aku izin ganti pembalut'"

 

Ketika menstruasi, mahasiswi juga mendapatkan beberapa pengalaman yang berhubungan dengan relasi interpersonal. Pengalaman ini menyoroti bagaimana stigma seputar menstruasi tidak hanya mempengaruhi individu yang menstruasi tetapi juga orang-orang di sekitar mereka, termasuk pasangan. Rasa malu yang dirasakan oleh mantan pacar ketika subjek membeli pembalut dan kekhawatiran subjek tentang ketidaknyamanan pasangannya mencerminkan dampak luas dari norma sosial dan budaya yang mengelilingi menstruasi. Situasi ini semakin menunjukkan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang inklusif dan sensitif gender, yang tidak hanya ditujukan untuk individu yang menstruasi tetapi juga untuk seluruh masyarakat, termasuk laki-laki.   

Free Pads UGM: #RedDayBeReady, Sebuah Inisiasi Seorang Mahasiswi untuk Kampus

Di lingkungan civitas akademika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, terdapat gerakan progresif bernama Free Pads UGM yang bertujuan untuk memberikan fasilitas pembalut gratis di setiap fakultas.

Pencetus dari gerakan ini adalah seorang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional bernama Naila Rafifa Nasir. Ia mulai aktif mendalami isu perempuan setelah mengambil mata kuliah Gender dan Politik pada semester 5, dari situ Naila tergerak untuk menjadi penyedia kebutuhan serta jembatan dari pemenuhan hak-hak perempuan.

Awal dari gerakan Free Pads UGM dimulai dari pengalaman Naila ketika secara tiba-tiba mengalami menstruasi di kampus dan harus mengantri lama sambil menahan perasaan tidak nyaman hanya untuk membeli pembalut di minimarket FISIPOL UGM. Setelah beberapa waktu, Naila mulai mengkritisi hal ini dengan lebih serius, tampak dari dedikasinya dalam menyediakan pembalut gratis yang mulanya ada di FISIPOL saja. Namun, Free Pads UGM kini sudah tersebar di beberapa toilet dari 11 fakultas berbeda.

Selain itu, informasi mengenai seluruh letak atau pembaruan stok pembalut secara aktif disebarkan melalui media sosial instagram mereka–@freepads.ugm, memudahkan akses komunikasi secara digital di antara mahasiswa. Gerakan ini masih terus bertumbuh secara kolektif bersama dengan rekan-rekan Naila lainnya. Menurut Naila, inisiatif seperti ini sebenarnya sudah ada di beberapa kampus seperti UI dan UNPAD, meskipun kebanyakan sebatas proyek individu saja.

Sebenarnya, Free Pads UGM tidak hanya tentang distribusi pembalut gratis sebagai solusi pragmatis terhadap kebutuhan mendesak saja; lebih dari itu, gerakan ini mengusung visi lebih luas, yaitu membuka ruang diskursus yang esensial mengenai Manajemen Kebersihan Menstruasi (MHM) dan normalisasi siklus reproduksi perempuan dalam ruang publik.

Chris Bobel, dalam kursus online ‘Women Making History: Ten Objects, Many Stories’ di platform edX, mengkritik pendekatan yang mereduksi solusi atas stigma menstruasi menjadi sekedar distribusi produk kebersihan menstruasi gratis: “Jika kita berpikir bahwa memberikan produk kepada semua orang di planet ini—bahkan produk gratis yang aman—akan mengatasi stigma menstruasi, itu tidak akan berhasil. Satu-satunya cara untuk mengatasi stigma menstruasi adalah dengan membingkainya kembali sebagai proses biologis alami dan melibatkan perempuan, laki-laki, anak-anak, pemimpin agama, dan orang tua dalam diskusi ini. Sampai kita melakukan hal tersebut, saya rasa kita masih akan terbelenggu oleh mandat menstruasi tentang rasa malu, diam, dan kerahasiaan,” ucapnya.

Inti dari Free Pads UGM sendiri bisa dikategorikan sebagai pembukaan ruang diskursus melalui program yang menyentil kesadaran masyarakat mengenai pentingnya MHM dan mendorong normalisasi lebih jauh mengenai siklus reproduksi perempuan, khususnya di ruang publik.

Intervensi MHM yang efektif seperti ini tidak hanya meningkatkan kehadiran dan partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi tetapi juga memperkuat pondasi kesetaraan gender serta pemberdayaan. Strategi intervensi harus mencakup beberapa aspek, mulai dari peningkatan akses ke produk kebersihan menstruasi yang terjangkau–seperti gerakan Free Pads UGM–dan ramah lingkungan, hingga penyediaan fasilitas sanitasi yang memadai. Lebih dari itu, integrasi edukasi MHM ke dalam daftar kegiatan sosialisasi atau advokasi universitas cukup dibutuhkan sebagai katalis pendobrak ketidaktahuan dan stigma, memfasilitasi dialog terbuka antara mahasiswa dan staf pengajar. 

Tantangan, Tanggung Jawab, dan Komitmen Bersama

Meskipun ada kemajuan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi stigma menstruasi di lingkungan akademis. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus kepada penyediaan fasilitas fisik tetapi juga pembangunan kesadaran dan pembentukan kebijakan sekaligus aksi nyata yang mendukung. Universitas, sebagai institusi pendidikan, memiliki peran krusial dalam proses ini, tidak hanya sebagai penyedia sumber daya tetapi juga sebagai arena untuk dialog terbuka dan pembelajaran bersama.

Mengatasi isu menstruasi di lingkungan akademis sangat memerlukan komitmen bersama dari semua pihak–termasuk mahasiswa, dosen, dan staf administrasi–untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung. Melalui pendidikan yang komprehensif, advokasi yang berkelanjutan, dan solidaritas yang kuat, kita dapat berharap untuk mencapai lingkungan akademis yang membebaskan mahasiswi dari beban stigma dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan kampus, tanpa rasa takut atau malu.

Previous
Previous

Perdamaian dan Inklusivitas: Apa yang Perlu Didengar Pemerintah Terhadap Permasalahan Inklusivitas?

Next
Next

Mempertanyakan Peran Laki-Laki dalam Perbincangan Kesetaraan Gender