Realita Kepemimpinan Perempuan Muda dalam Lingkungan Kampus

oleh Florentina Rachel

Masih banyak narasi tentang hambatan menjadi seorang perempuan muda, terutama dalam isu kepemimpinan. Padahal, gerakan perempuan di masa kini sudah lebih maju dan berkecambah. Apa benar begitu? 

Perjuangan Kepemimpinan Perempuan di Dunia Profesional

Wacana mengenai sulit dan terjalnya tantangan perempuan dalam memperoleh posisi pemimpin merupakan isu penting terkait perjuangan perempuan, terutama dalam dunia profesional. 

Sebuah riset yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) pada Mei–Maret 2021 bertujuan untuk memetakan daftar permasalahan yang harus dihadapi kaum perempuan dalam dunia media dengan mengulik dan menghimpun cerita pengalaman pribadi dari 258 responden yang terdiri dari jurnalis perempuan junior hingga senior di 30 provinsi di Indonesia. Selain kompetensi, batu sandungan yang menyulitkan jurnalis perempuan adalah stigma, seperti penilaian akan kurangnya kapabilitas dalam mengedepankan nalar rasional dibanding emosi. Isu ini juga membuat posisi jurnalis perempuan dilemahkan dalam proses negosiasi karena masih rendahnya pemahaman perspektif gender saat mengutarakan pemikiran dan aspirasi kepada rekan laki-laki. Posisi seperti itu rentan membuat perempuan merasa kurang percaya diri. Sebaliknya, jika perempuan menunjukkan perilaku dalam memperjuangkan hak dan aspirasinya yang butuh didengar, ia akan mudah dilabeli ‘pemberontak’ atau terlalu maskulin sehingga dianggap ingin berkompetisi dengan laki-laki.

Di bangku parlemen, jumlah kursi yang berhasil diduduki perempuan berdasarkan hasil pemilu DPR 2024 diproyeksikan berada di tingkat 22,1% atau sebanyak 128 dari total 580 kursi DPR. Peningkatan 1,6% dibanding pemilu tahun 2019 masih tergolong sedikit. Peraturan mengenai porsi perempuan sekurang-kurangnya 30% nampaknya masih menjadi PR panjang bagi Indonesia.

Kondisi Kepemimpinan Perempuan Muda di Lingkup Universitas

Lantas, bagaimana dengan kondisi kepemimpinan perempuan muda di lingkup universitas?

Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan dengan beberapa pemimpin perempuan di lingkup organisasi Universitas Gadjah Mada (UGM), kepemimpinan perempuan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari segi jumlah maupun manajemen dan tingkat kepercayaan yang diterima. Peningkatan ini dapat dilihat dari kenaikan jumlah UKM yang dipimpin oleh perempuan pada tahun 2023–2024. Pada 2023, jumlah UKM yang dipimpin oleh perempuan adalah 14 dari total 48 UKM (29,16%). Angka tersebut meningkat 2,98% di tahun 2024, yakni 18 dari total 56 UKM (32,14%).

“Di pengalaman kepemimpinanku sebelumnya, ada pihak-pihak yang terkesan sungkan untuk terang-terangan memberiku kritik. Mereka kira aku (sebagai pemimpin perempuan) harus dipuji dulu di awal, istilahnya di-puk puk, baru setelahnya dikasih kritik yang mana sebenarnya kritik itu sangat berbanding terbalik dengan pujian mereka di awal,” ungkap Elyn (nama samaran) yang pernah menduduki posisi ketua umum salah satu komunitas pejuang kesetaraan gender di UGM.

“Sekarang, setelah aku berada di lingkungan yang tepat, aku merasa sangat didukung. Dukungan itu kurasakan bukan hanya karena aku perempuan, melainkan juga karena mereka punya kepercayaan penuh terhadap kapabilitasku. Kepercayaan penuh itulah yang jadi salah satu penyumbang energi terbesarku selama memimpin dan terus belajar,” lanjutnya.

Misry (nama samaran), seorang perempuan yang pernah menjadi ketua umum salah satu komunitas pengabdian masyarakat juga mengatakan bahwa pihak-pihak yang pernah meragukannya dalam hal kepemimpinan diakibatkan oleh faktor kurangnya self branding dari dirinya sendiri, bukan karena stigma atau bias gender di lingkungannya

Bertolak sedikit dari kemajuan kepemimpinan perempuan di lingkup UGM, kita juga harus menilik topik yang sama di kampus lain di Yogyakarta.

Aku sering nggak dilibatkan dalam diskusi mengenai hal-hal yang lumayan krusial, padahal posisinya aku jadi Ketua 1. Ketua Umum dan Ketua 2 laki-laki semua. Bahkan, grup pengurus harian inti yang isinya bertiga aja bisa dibilang sepi banget,” keluh Dias (nama samaran), Ketua 1 himpunan mahasiswa prodi akuntansi di kampusnya.

Kampus Dias tidak memiliki UKM atau komunitas yang berorientasi pada pergerakan atau perjuangan kesetaraan gender. “Cuma ada UKM seni, koperasi mahasiswa, himpunan prodi dan keagamaan. Jadi emang nggak ada komunitas yang mengarah ke isu gender,” lanjutnya.

Lingkungan: Kunci Lingkaran Harmonis Menuju Optimalisasi Transfer Wawasan Isu Keperempuanan

Dalam buku Environment and Behaviour: A Dynamic Perspective karya Charles J. Holahan, dinyatakan bahwa lingkungan sosial dan fisik mampu memengaruhi perilaku komunitas dan individu, begitupun sebaliknya. Pandangan yang berbeda dari Elyn, Misry, dan Dias menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang berkontribusi mendulang majunya kepemimpinan perempuan adalah lingkungan sekitar. Lingkungan (termasuk orang, manajemen, budaya, dan nilai yang mampu mengalami perubahan dan perkembangan) memegang peranan penting terhadap pertumbuhan dan dinamika sosial di sekitarnya. 

Di UGM sendiri, lingkungan dan wadah diskusi mengenai isu-isu perempuan semakin meluas dan inklusif yang ditandai dengan bertambahnya komunitas yang bergerak di isu gender dan perempuan, serta peningkatan jumlah UKM atau komunitas yang diketuai oleh perempuan. Hal tersebut mampu mendorong perempuan muda untuk jadi lebih percaya diri dalam menunjukkan eksistensi dan aspirasinya, seperti menyelenggarakan event dengan tujuan menyebarluaskan urgensi dari kesadaran isu perempuan, perspektif gender dalam interaksi sosial, berpartisipasi aktif dalam International Women’s Day tanpa merasa takut dianggap memberontak, dan sebagainya. Perilaku tersebut jugalah yang menjadi bahan bakar utama untuk semakin menciptakan lingkungan kepemimpinan yang inklusif. Maka dari itu, terciptalah lingkaran yang lebih sinergis dan harmonis.

Masih banyak generasi masa lampau yang (sayangnya) terperangkap dalam budaya patriarki dalam bangku politik Indonesia saat ini. Ini merupakan faktor utama atas jawaban dari pertanyaan kesenjangan kuantitas perempuan dan laki-laki dalam dunia profesional. Salah satu akar permasalahannya adalah lamanya budaya patriarki yang sudah merebah di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. 

Kabar segarnya, saat ini, komunitas pergerakan perempuan dan kesetaraan gender semakin berkecambah, tak luput dengan acara-acara yang diselenggarakan dengan unik sehingga menggaet lebih banyak orang untuk penasaran. Mulai dari peningkatan kuantitas, kualitas, dan penjualan film serta karya sastra yang menyuarakan isu perempuan, hingga diskusi terbuka mengenai anak-anak topik dari keperempuanan (sejarah perjuangan perempuan, peran media dari masa ke masa, urgensi pendidikan kesehatan reproduksi, kekerasan dan pelecehan, dan masih banyak lagi). Dari situlah, proses transfer pengetahuan terjadi dengan tujuan memutus arus budaya patriarki dan menciptakan lingkungan yang lebih adil bagi seluruh gender. Kabar segar ini juga dibuktikan dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia yang selalu menunjukkan penurunan dari tahun 2018. IKG pada tahun 2023 adalah 0,447% atau turun sebesar 0,012 dibandingkan tahun 2022 (BPS, 2024).

Kesimpulan

Lingkungan sosial mampu memengaruhi karakter sekitarnya, termasuk komunitas, masyarakat, cara berpikir, cara mempersepsikan hal, dan lain-lain yang dikelola pikiran. Diferensiasi lingkungan dapat menciptakan budaya yang berbeda pula. Meskipun demikian, tak menutup kemungkinan budaya mengalami perubahan seiring berkembangnya lingkungan. Di lingkungan kampus yang pergerakan isu keperempuanannya dapat tersirkulasi dengan baik, kebebasan berpendapat dan mengekspresikan diri minim menghadapi hambatan yang berarti. Situasi ini berbeda saat dihadapkan dengan lingkungan kampus yang belum menjadikan diskusi isu keperempuanan sebagai hal yang penting dan lumrah. Lingkungan seperti itu berpotensi membuat mahasiswa/mahasiswi merasa tidak memiliki teman yang satu minat yang sama dengannya sehingga memengaruhi kepercayaan dirinya dalam mengadvokasikan isu.

Hal serupa terjadi pada lingkungan dunia profesional yang belum menjadikan diskusi kritis mengenai isu keperempuanan sebagai perhatian bersama, padahal banyak kasus kekerasan akibat misogini dan relasi kuasa yang berakar dari tempat kerja. Hambatan ini menjadi PR besar bagi generasi muda, tak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki untuk dapat bekerja sama dalam membangun lingkungan yang ramah bagi diskusi kesetaraan gender yang merupakan salah satu sumber kesejahteraan masyarakat. Kerja sama ini hendaknya turut menggandeng generasi sebelumnya yang telah lebih dulu terpapar budaya patriarki di banyak aspek kehidupan, terutama mereka yang memiliki aspirasi searah sehingga proses diskusi menjadi multidimensi dan praktis.

Previous
Previous

Ancaman Keamanan Manusia, dari Pernikahan Anak hingga Perubahan Iklim

Next
Next

Pilu Menjadi Perempuan: Sudah Menjadi Korban Tetapi Disalahkan Juga