Ancaman Keamanan Manusia, dari Pernikahan Anak hingga Perubahan Iklim

oleh Tia Mega Utami

Konsep keamanan manusia pertama kali diperkenalkan oleh UNDP tahun 1994 dalam laporannya berjudul “Human Development Report” . Laporan ini membedakan keamanan menjadi dua: 1) keamanan tradisional berfokus pada negara dengan teritorialnya, dan 2) keamanan nontradisional berpusat pada individu sebagai manusia, bukan negara ataupun kelompok. Keamanan manusia (nontradisional) muncul sebagai respons dari keamanan tradisional yang hanya fokus melindungi kedaulatan negara dari ancaman perang, tetapi di satu sisi manusia menghadapi berbagai risiko yang mengancam keberlangsungan hidupnya, sehingga keamanan tradisional tidak bisa lagi melindungi individu dari ancaman yang bersifat nonmiliter, seperti kemiskinan, kelaparan, kekerasan dan faktor lainnya.

Keamanan manusia (nontradisional) yang berfokus pada individu menekankan pentingnya keamanan manusia untuk melindungi dan mempromosikan kesejahteraan individu dari berbagai ancaman, baik itu fisik, ekonomi, sosial atau lingkungan. Dengan kata lain, keamanan manusia sebenarnya berbicara tentang tanggung jawab negara untuk memberikan rasa aman pada tiap-tiap anggota masyarakat. Dalam hal ini, UNDP membaginya ke dalam tujuh kategori dimensi keamanan manusia: ketahanan pangan, keamanan ekonomi, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan pribadi/personal, keamanan komunitas/kelompok, dan keamanan politik.

Mari kita membahas keamanan manusia dalam konteks perubahan iklim, khususnya dalam dimensi lingkungan yang sangat dirasakan dampaknya oleh kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Seringkali mereka menghadapi berbagai risiko besar yang mengancam kesejahteraan dan kebutuhan dasar. Keamanan manusia dalam dimensi lingkungan berfokus pada perlindungan individu dari ancaman lingkungan seperti bencana, kekeringan, deforestasi hutan, pencemaran dan aspek lainnya yang membatasi dan menghambat manusia untuk berkembang secara utuh sebagai manusia, termasuk dalam perubahan iklim.

Sejak dua tahun terakhir, kita semua mengalami ketidakpastian iklim yang menyebabkan cuaca sulit diprediksi dengan baik sebagaimana mestinya. Siklus alam berubah total dalam merespon perubahan yang terjadi pada lingkungan, dengan ditandai pergantian musim yang berdampak pada meningkatnya cuaca ekstrem di seluruh dunia. Bagian Bumi Utara mengalami musim panas terpanas dalam 2.000 tahun terakhir, dan terjadi curah hujan yang sangat tinggi hingga menyebabkan banjir parah di beberapa daerah, sementara daerah lain terjadi kekeringan ekstrem, dan kemungkinan tahun ini akan melampaui ambang batas kenaikan suhu sebesar 1,5 C sepanjang tahun. Berdasarkan penelitian The Ohio State University berjudul “Extreme weather events linked to increased child marriage”, dampak yang lebih mengejutkan adalah peningkatan cuaca ekstrem disertai dengan meningkatnya jumlah pernikahan anak dan pernikahan paksa di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. 

Kasus di atas menggambarkan situasi yang terjadi di Pakistan akhir-akhir ini, di mana angka pernikahan anak kembali meningkat setelah banjir Monsun tahun 2022, dipicu oleh perubahan iklim yang memperbesar intensitas banjir yang berdampak pada kehidupan jutaan petani serta pangan lokal. Menurut laporan VOA Indonesia, banjir yang terjadi di Pakistan menenggelamkan sepertiga wilayahnya, dengan 45 angka pernikahan anak tercatat pada 2024, 15 diantaranya terjadi dalam tiga bulan terakhir. Sebelum banjir 2022, orang tua menunda menikahkan anak perempuannya hingga usia lebih dewasa, namun setelah banjir menerjang, kemiskinan terjadi dan mendorong orang tua untuk segera menikahkan anak-anaknya sebagai upaya mengurangi beban ekonomi rumah tangga.

Kasus serupa terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir Indonesia, mayoritas perempuan bekerja dari hasil tangkapan para nelayan, mereka bergantung pada kondisi cuaca yang baik, di mana jika hujan lebat disertai badai dan suhu air ekstrem maka mengurangi hasil tangkapan nelayan dan mengurangi produktivitas ekonomi mereka. Di pesisir Utara Jakarta, ketidakpastian akibat perubahan iklim ini mengharuskan perempuan pesisir menghadapi situasi sulit, termasuk terpaksa menikahkan anak perempuan demi menjaga kelangsungan ekonomi keluarga, terutama di keluarga yang jumlahnya besar, anak perempuan sering dianggap sebagai beban. Juga mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual, dan dalam beberapa kasus, mereka dipaksa menikah dengan pelaku kekerasan tersebut. 

Keamanan Manusia dalam Praktik Pernikahan Anak

Keamanan manusia didasari oleh gagasan freedom from fear (bebas dari rasa takut), freedom from want (bebas dari kekurangan untuk kebutuhan dasar), dan freedom to live with dignity (bebas untuk hidup bermartabat). Saya akan menggunakan ketiga gagasan tersebut untuk menjelaskan fenomena di atas. 

Anak perempuan yang dipaksa menikah akan menghadapi berbagai risiko, termasuk tubuh yang belum siap untuk kehamilan dan persalinan, sehingga mengakibatkan meningkatnya risiko kematian ibu dan anak. Selain itu, anak perempuan masih dalam tahap perkembangan belum cukup berumah tangga, yang akan mempengaruhi kondisi fisik dan mental. Belum lagi anak perempuan rentan mengalami kekerasan seksual dari suami, yang mengakibatkan rasa trauma berkepanjangan serta membahayakan keselamatan diri. Dapat disimpulkan bahwa freedom from fear belum mampu mengatasi ancaman yang dirasakan perempuan dan anak perempuan dalam semua kasus berbasis gender, termasuk rasa takut dari ancaman kematian kekerasan struktural dan kultural.  

Kemudian, kita tahu bahwa intensitas beban kerja perempuan lebih besar daripada laki-laki. Ketika dihadapkan dengan perubahan iklim yang buruk, perempuan yang sebelumnya tidak bekerja atau melakukan aktivitas domestik, terpaksa bekerja di lahan pertanian. Sehingga ketidakpastian iklim membuat perempuan harus bergantung pada jenis tanaman dan kondisi cuaca, di mana curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan gagal panen, sementara kemarau berkepanjangan menurunkan produktivitas lahan, belum lagi kalau perempuan harus menghadapi kesulitan mendapatkan akses air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Akibat meningkatnya kebutuhan dasar, banyak anak perempuan pada akhirnya memilih untuk menikah dengan harapan kondisi ekonomi mereka membaik dan akses terhadap sumber daya terpenuhi. Alhasil freedom from want belum sepenuhnya memastikan perempuan terbebas dari ancaman untuk memenuhi kebutuhan dasar, karena perubahan iklim menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar tersebut.

Pernikahan anak pada dasarnya merupakan hasil dari kekerasan struktural dan kultural. Kemiskinan yang dirasakan masyarakat menempatkan mereka pada garis kemiskinan ekstrem, sehingga akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi menjadi sangat terbatas. Adanya budaya patriarki menjadi penyumbang yang terus menormalisasi praktik pernikahan anak, dengan pandangan bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan untuk melindungi keluarga dari beban ekonomi dan sosial. Sehingga banyak perempuan dan anak perempuan belum sepenuhnya terbebas dari ancaman terhadap freedom to live with dignity, karena masih menghadapi diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan yang menghalanginya untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Dengan demikian, pernikahan anak akibat cuaca ekstrem telah menghambat pemenuhan tiga gagasan utama keamanan manusia, Freedom from fear, freedom from want dan freedom to live with dignity.

Pencegahan Pernikahan Anak di Tengah Perubahan Iklim

Pencegahan pernikahan anak dan penanggulangan krisis iklim di Indonesia seharusnya menjadi agenda prioritas karena berdampak di segala aspek pembangunan. Pemerintah tidak hanya memfasilitasi pelatihan dan keterampilan untuk meningkatkan edukasi masyarakat tetapi harus dibarengi usaha untuk memaksimalkan potensi penggunaan energi terbarukan. Selain itu, diperlukan reformasi kebijakan dan membangun mentalitas aparat penegak hukum untuk lebih ketat dalam melegalkan praktik dispensasi nikah yang melanggengkan pernikahan anak. Penting juga untuk mendorong perempuan turut berpartisipasi dan terlibat aktif di setiap aspek pembangunan, termasuk akses pendidikan, layanan kesehatan, dan program pengembangan yang mendukung kemandirian ekonomi secara merata. Pemuka agama juga turut mengambil peran untuk mencegah pernikahan anak dengan membuka lebih banyak interpretasi ajaran yang humanis dan inklusif. Pemuka agama memiliki peran signifikan karena lebih dekat dengan masyarakat, sehingga pemahaman kolektif sangat dibutuhkan.

Negara setidaknya perlu memastikan perlindungan anak dan perempuan secara komprehensif, dengan tidak menghambat dan mempersulit masyarakat khususnya kelas menengah dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti bantuan pangan gratis, jaminan kesehatan gratis, dan fasilitas lain yang mendukung pemberdayaan berkelanjutan. Sudah sepatutnya negara wajib hadir memastikan masyarakat terlindungi dari ancaman krisis iklim dan ancaman lain yang membahayakan keselamatan tiap-tiap individu sebagaimana mandat konstitusi melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut mewujudkan perdamaian dunia”. 

Dengan adanya kerja sama civil society dan dorongan komitmen yang kuat dari negara, pernikahan anak dan perubahan iklim keduanya dapat dicegah jika negara menjalankan perannya secara efektif dan konsisten dengan memprioritaskan kelompok yang paling rentan khususnya perempuan dan anak baik dari tingkat individu, lokal, dan nasional.

Previous
Previous

Perebutan Teknologi oleh Perempuan

Next
Next

Realita Kepemimpinan Perempuan Muda dalam Lingkungan Kampus