Polemik Label ‘Caleg Cantik’: Objektifikasi dan Bingkai Media Soal Perempuan dalam Politik

oleh Syifa Maulida

Familiar dengan sebutan ‘caleg cantik’? Label yang kerap disematkan pada bakal calon legislatif perempuan ini adalah sebutan yang seolah-olah wajib untuk dihadirkan pada beberapa pemberitaan Pemilu di media.  Tak hanya 1 atau 2, model artikel dengan judul berita seperti ini hampir selalu hadir mengiringi pemberitaan mengenai bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan termasuk para bacaleg yang akan maju pada kontestasi pemilu di 2024 mendatang. 

Ilustrasi oleh Lucky Lukman Hakim

Saat kontestasi Pemilu 2019, misalnya, sebuah artikel terbit dengan judul ‘Tampilan 5 Caleg Cantik yang Minta Dicoblos, Bikin Goyah Iman Nih’. Artikel serupa juga terbit pada kontestasi Pemilu 2024 sekarang dengan judul ‘Pesona Caleg-Caleg Cantik yang Siap Pikat Hati Pemilih, Ada yang Disebut Kelewat Jelita!’. Kedua artikel ini tak hanya mengobjektifikasi kecantikan para bakal calon legislatif namun juga melecehkan dan syarat akan objektifikasi seksual. 

Fenomena semacam ini adalah gambaran bagaimana cara pandang mayoritas wartawan/penulis media massa dalam menyajikan berita bernarasi perempuan. Pendefinisian bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan dalam bingkai kecantikan merupakan salah satu tindakan objektifikasi yang nyatanya bisa merugikan perempuan. Pemberian ‘label cantik’ pada pemberitaan bakal calon legislatif perempuan hingga judul artikel yang mengarah pada ranah seksual adalah bukti bahwa terdapat bias gender dalam pemberitaan media yang dapat memperkuat stereotip gender melalui objektifikasi tubuh perempuan. Alih-alih terlihat sebagai pujian, narasi berita soal bakal calon legislatif yang fokus pada segi kecantikan, penampilan, dan kepopuleran ini nyatanya justru dapat menjadi bumerang dan mempersempit ruang partisipasi politik perempuan.  

Objektifikasi dan Bahayanya

Apa yang dilakukan oleh mayoritas media dalam narasi caleg cantik adalah sebuah tindak objektifikasi terhadap perempuan. Meskipun seringkali terlihat sebagai sebuah ‘pujian’, menarasikan caleg perempuan dalam bingkai kecantikan dan kepopuleran nyatanya justru hanya akan melanggengkan keyakinan bahwa kecantikan adalah sebuah komoditas yang memiliki nilai dan dapat dilihat sebagai ‘mata uang sosial’. Dengan begini, daya tarik fisik akan dilihat sebagai aset yang sangat penting dan lebih bermanfaat dibandingkan keterampilan, bakat, atau kompetensi yang lebih selaras dalam konteks politik. Tindakan semacam ini adalah sebuah proses perendahan perempuan yang akan berakhir pada kurangnya pengakuan pada kompetensi perempuan. Sebagai akibatnya, ruang politik bagi perempuan pun akan semakin sempit dan juga terbatas.


Pengakuan kompetensi perempuan haruslah menjadi narasi utama dalam pemberitaan di media sebagai langkah perlawanan terhadap upaya objektifikasi tubuh perempuan dan menjamin keikutsertaan perempuan dalam kontestasi Pemilu.  Meskipun Indonesia telah melakukan tindakan afirmatif dengan menjamin keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam parlemen, namun upaya peniadaan bias gender dalam konteks politik di Indonesia tetap menjadi tugas utama. Menghadirkan perempuan dalam kontestasi politik adalah hal yang penting, tapi memastikan perempuan diperlakukan dan dibicarakan di media serta dalam diskusi sehari-hari secara berkeadilan adalah PR besar bagi kita semua.

Previous
Previous

Mempertanyakan Peran Laki-Laki dalam Perbincangan Kesetaraan Gender

Next
Next

Melampaui Mekanisme Kekerasan Seksual di Kampus