Mempertanyakan Peran Laki-Laki dalam Perbincangan Kesetaraan Gender

oleh Jihan Salsabila

Apabila kesetaraan gender menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, maka, sudah seharusnya baik laki-laki maupun perempuan mengambil peran dan keterlibatan yang sama. Namun pada kenyataannya, perbincangan mengenai kesetaraan gender masih kurang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu sendiri. 

Sumber gambar: link

Memang banyak dijumpai laki-laki penggagas kesetaraan gender, seperti John Stuart Mill, Qasim Amin, KH. Husein Muhammad, dan lainnya. Akan tetapi, dalam ranah yang lebih kecil dan mendasar, seperti pada lingkup diskusi dan pelatihan, keterlibatan laki-laki justru semakin dipertanyakan.

Misalnya, dari beberapa kesempatan seminar dan diskusi kesetaraan gender yang saya hadiri, seringkali dalam satu forum yang dihadiri lebih dari lima belas orang, hanya satu sampai tiga laki-laki yang ikut duduk dan berdiskusi, atau bahkan tidak ada keikutsertaan laki-laki sama sekali. Tak jarang juga saya mendapatkan pertanyaan mengenai kebolehan laki-laki mengikuti kegiatan feminis. Hal itu merupakan contoh dari rendahnya keterlibatan laki-laki dalam pembicaraan perjuangan kesetaraan gender.

Tak sampai disitu, minim peran dari laki-laki juga menimbulkan anggapan bahwa perjuangan kesetaraan gender hanya dibutuhkan dan menjadi tanggungjawab perempuan saja. Pandangan semacam itu jelas keliru, karena pada kenyataannya ketidakadilan gender yang terjadi juga berimbas pada laki-laki. Seperti halnya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap laki-laki sering dianggap sepele dan kurang mendapat perhatian. Toxic masculinity menyebabkan laki-laki harus memiliki karakter yang tangguh dan kuat, sehingga seringkali bungkam ketika mendapatkan kekerasan dan pelecehan karena tidak ingin dipandang lemah.

Hal itu diperparah dengan kekerasan dan pelecehan yang sebagian besar pelakunya adalah laki-laki, sedangkan korbannya perempuan memicu asumsi bahwa laki-laki tidak mungkin mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual, sehingga laki-laki korban kekerasan seringkali tidak dipercaya dan malah dituduh sebagai pelaku. Padahal, laki-laki juga dapat mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Tahun 2020 silam misalnya, dihebohkan dengan 159 kasus perkosaan dan serangan seksual di Inggris yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga. Dalam kasus tersebut, 48 laki-laki menjadi korban. Tak hanya itu, di tahun 2023, terdapat 40 remaja yang terdiri dari 39 laki-laki dan 1 perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh ketua geng motor di Kabupaten Bengkalis, Riau.  Tentunya, kasus-kasus tersebut dengan nyata memperlihatkan bahwa laki-laki juga berpotensi mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.

Dari 15.120 kasus kekerasan seksual pada tahun 2023 yang dicatat oleh SIMFONI-PPA, terdapat 4.691 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak laki-laki. Jumlah tersebut memang tidak sebanding dengan kasus kekerasan yang dialami perempuan, tetapi kekerasan yang dialami laki-laki tidak patut untuk diabaikan. 

Sayangnya, perlindungan hukum bagi korban kekerasan dan pelecehan terhadap laki-laki masih minim. Di Indonesia sendiri, penafsiran mengenai kekerasan seksual masih sempit terhadap korban laki-laki. Dalam Pasal 285 KUHP, korban kekerasan dan perkosaan  hanya terbatas pada perempuan. Sehingga, penanganan terhadap laki-laki dewasa korban perkosaan menggunakan Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHP tentang percabulan.

Pemaparan kasus dan data diatas membuka dan memperluas pandangan bahwa maskulinitas tidak selamanya melindungi laki-laki dari segala bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam dunia yang patriarki. Tentunya, perjuangan kesetaraan gender bukan perihal seseorang terdampak atau tidak, tetapi kenyataan bahwa ada yang terdampak dari ketimpangan yang terjadi. Perjuangan kesetaraan gender bukan hanya berlaku bagi perempuan, tetapi untuk semua orang termasuk laki-laki. Oleh karena itu, keikutsertaan laki-laki dalam upaya perjuangan kesetaraan gender di berbagai lingkup diskusi dan perbincangan sangat diperlukan. Kesetaraan gender untuk semua orang, begitupun dalam perjuangan mencapainya.

Previous
Previous

Mengatasi Stigma Reproduksi Perempuan melalui Menstrual Hygiene Management di Universitas

Next
Next

Polemik Label ‘Caleg Cantik’: Objektifikasi dan Bingkai Media Soal Perempuan dalam Politik