Melampaui Mekanisme Kekerasan Seksual di Kampus

oleh Zeni Tri Lestari

Satu hari di pertunjukan seni di kampusku, ada satu pertunjukkan yang menampilkan adegan grafis pemerkosaan dan objektivikasi perempuan. Nggak hanya itu, dalam satu pertandingan olahraga, ada sebuah maskot yang berpakaian ketat dan memperagakan adegan pelecehan dan pemerkosaan di tengah panggung. Tidak sedikit penonton yang kecewa dan terdampak secara psikologis dari kejadian ini, yang membuat kita dihadapkan oleh fakta bahwa di fakultas yang konon progresif, budaya pemerkosaan masih muncul: tidak tersembunyi, tidak malu-malu, namun nampak di pertunjukan terbuka dan disaksikan banyak mata.

Fenomena ini membuatku tersadar bahwa mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual saja tidak cukup untuk menciptakan kampus yang aman dari kekerasan seksual. Untuk memahami lebih dalam situasi kampus yang aku ceritakan, ada baiknya kita mengenal sejarah pergerakan advokasi kekerasan seksual dari waktu ke waktu.

Tahun pertama, 2019, saat aku menjadi mahasiswa baru, aku disambut dengan orientasi mahasiswa yang membawa banyak isu sosial, salah satunya adalah isu kekerasan seksual. Kami diajarkan apa itu kekerasan seksual, apa saja jenisnya, dan kenapa isu ini penting dibahas dalam rangka menciptakan dunia kampus yang aman dari kekerasan seksual. Kami bahkan berkesempatan untuk menyampaikan protes langsung pihak rektorat yang pada saat itu belum juga memiliki peraturan kekerasan seksual. Meskipun tidak sepenuhnya optimal, setidaknya orientasi ini mengenalkan norma anti kekerasan di kampus sejak kami pertama menginjakkan kaki di kampus.

Tahun kedua, 2020, adalah masa di mana aku beradaptasi dengan kondisi pembelajaran online karena pandemi COVID-19. Tidak disangka, momen dengan tiada pertemuan fisik ini malah jadi momen gerakan anti kekerasan seksual mulai digalakan. Suatu hari di media sosial, ada thread Twitter yang melakukan ‘spill the tea’ kasus kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa FISIP UI. Banyak mahasiswa resah dengan kondisi ini, kemudian menginisiasi gerakan akar rumput yang menuntut pimpinan fakultas untuk segera mengesahkan, bahkan merekomendasikan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. 

Di momen inilah aku menemukan bahwa tidak semua pembelajar gender di kampus progresif adalah insan yang perbuatannya selalu sesuai dengan perkataannya. Aku dengan naif berasumsi bahwa dosen yang punya dasar ilmu sosial dan ilmu politik sudah mengetahui pentingnya berpihak pada korban kekerasan seksual. Namun, nyatanya tidak juga. Di momen ini aku kaget karena mendengar dosen yang berujar menyalahkan pakaian korban.

Di sisi lain, mahasiswa juga mendesak agar peraturan kekerasan seksual di tingkat nasional disahkan. Tidak puas dengan lambannya para pejabat baik kampus maupun negara, setidaknya aku dan sesama mahasiswa di FISIP UI akhirnya menginisiasi tim khusus yang menerima dan mendampingi korban kekerasan seksual dan menawarkan dua jenis bantuan: pendampingan hukum dan pendampingan psikologis. 

Tahun ketiga, 2021, adalah tahun di mana Permendikbud No.30 tahun 2021 akhirnya disahkan. Di saat bersamaan, gerakan akar rumput advokasi kekerasan seksual di FISIP UI juga berproses dalam membentuk Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual FISIP UI(selanjutnya disebut Komite PPKS), sebuah lembaga independen yang bertanggung jawab kepada Dekan FISIP UI untuk membuat berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual FISIP UI.

Masih ingat pertunjukkan yang mencerminkan budaya pemerkosaan tadi? Ya, kejadian itu muncul setahun setelah hadirnya Komite PPKS. Aku sering bergumam:kenapa hal seperti ini masih saja terjadi? Apakah sosialisasi, pelatihan, kampanye, diskusi, hadirnya berbagai ruang aman, tidak hanya Komite PPKS tetapi juga FISIP Anti Kekerasan Seksual–sebuah lembaga mahasiswa yang mendampingi korban kekerasan seksual–tidak cukup untuk membuat kita tidak mempertontonkan objektivikasi dan kekerasan terhadap perempuan? Apakah upaya berbagai pihak untuk mengadvokasikan kekerasan seksual di kampus tidak cukup efektif? Ataukah ini memang hanya sebuah ‘kecolongan’ saja? 

Berbagai pertanyaan terus muncul. Kemudian aku menyadari, budaya pemerkosaan tidak bisa hilang begitu saja. Mahasiswa dan mahasiswi yang ada di lingkungan kampus saat ini adalah individu yang telah belasan tahun hidup dengan budaya yang sebagian besar sangat misoginis dan merendahkan perempuan. Mungkin saja, norma anti kekerasan seksual adalah hal asing yang tidak familiar dan baru dikenalkan di perkuliahan saja. 

Aha moment ini membuat aku sadar bahwa advokasi kekerasan seksual dan penghapusan budaya pemerkosaan tidak bisa hanya terjadi di pendidikan tinggi saja–yang mana hanya segelintir yang dapat menikmatinya. Semua ini justru harus dikedepankan sejak masuk sekolah dasar, pendidikan anak usia dini, atau bahkan mulai dari sejak pertama hadir di dunia.

Previous
Previous

Polemik Label ‘Caleg Cantik’: Objektifikasi dan Bingkai Media Soal Perempuan dalam Politik

Next
Next

Alana: Penokohan Androgini dalam Film Sri Asih