Perebutan Teknologi oleh Perempuan

Bagaimana Aktivisme Media Sosial Menyokongnya? 

oleh Putu Dinda Ayudia

Kamu sudah nonton satu serial Netflix berjudul “Never Have I Ever”? Di salah satu adegan, Devi, si pemeran utama, sedang mengantri makanan cepat saji sambil sibuk dengan gawainya. Devi terlihat sibuk scrolling media sosial dan tak peduli dengan apa-apa yang terjadi di sekitarnya karena dia sedang tidak nyaman dengan penampilannya saat itu. Di momen itu, seorang anak kecil meminta foto bersama dengan Devi untuk mengunggahnya ke media sosial karena menyukai gaya berpakaiannya. Devi menolaknya dengan alasan “just live in the moment, why we should commemorate everything’s on social media?” Melihat sikap Devi, pengantri lain menyahutinya agak sinis, “You were on Twitter the entire time you were in line, you tweeted a thank you to a target ad telling you to have a Happy Labour Day.

Devi dalam serial ini digambarkan sebagai seorang perempuan muda beretnis India, sekaligus siswa SMA di Amerika Serikat. Walaupun dengan latar belakangnya sebagai perempuan beretnis India, Devi sama sekali menolak doktrin moral keluarganya untuk menjadi perempuan India ideal, salah satunya menjaga keramahan dan bersopan santun. Devi terlihat menunjukkan karakter perempuan muda beretnis yang telah mengalami pergeseran preferensi gaya hidup yang lebih urban. Singkatnya, dalam kondisi ini Devi menjadi contoh transnasionalisasi budaya. Preferensi gaya hidup dan karakter Devi, jika dilihat pada film secara keseluruhan, disetir oleh konstruk perempuan ideal sekaligus mekanisme psikologisnya untuk tetap relevan dengan pergaulan siswa lain di sekolahnya, seperti eksis di media sosial, memiliki kebebasan, menjadi perempuan cerdas di sekolah, dan memperhatikan isu sosial. Pertanyaannya, bagaimana potongan adegan diatas dan karakter Devi menggambarkan realitas aktivisme perempuan muda saat ini di media sosial?

Media Sosial dan Gerakan Perempuan: Bagaimana Cara Kerjanya?

Sumber ilustrasi: alignplatform.org

Berangkat dari pembacaan transformasi media, perhatian khusus mesti diberikan pada daya tawar media sosial. Media sosial belakangan bertransformasi menjadi field of discourses atau ruang perebutan wacana. Dengan kata lain tempat terjadinya tafsir-menafsir dan penyetiran agenda publik berlangsung secara cair dan bebas namun bukan tak berstruktur. Proses ini sekilas terkesan menjauhi model media massa tradisional yang agendanya hanya dapat disetir oleh media yang bersangkutan.

Penting untuk menekankan bahwa media sosial memiliki logikanya sendiri dan dalam hal ini bukan tanpa kemudi dari platform itu sendiri. José van Dijck dan Thomas Poell menyebut bahwa logika media sosial melebur dengan logika media massa. Dalam media sosial, konten kreator tidak menjadi satu-satunya ‘otak dari program’ seperti apa yang terjadi pada media massa konvensional. Dengan algoritma, penayangan konten bisa terjadi hanya bila audiens yang bersangkutan berada dalam ‘domain’ yang sama dengan ide kreator. 

Pada mulanya isu-isu perempuan yang ada di dalam ruang media sosial bisa dijangkau oleh publik yang telah memiliki pengetahuan atau ketertarikan dengan isu gender. Namun, di luar itu masih ada logika konektivitas media sosial. Logika konektivitas memungkinkan isu-isu menjangkau publik yang lebih luas melalui jejaring lain yang dimiliki tiap node (titik sambung). Sebut saja, seorang aktivis perempuan membagikan ulang konten mengenai urgensi platform digital yang berperspektif feminis. Konten ini dibagikan ulang melalui fitur Instagram story dan disimak oleh rekan-rekannya di masa SMA, termasuk rekan-rekannya yang tidak pernah mendapat pendidikan formal terkait isu gender. Pada poin ini, logika konektivitas media sosial menekankan pada daya hubung media sosial yang terletak pada fiturnya sekaligus peran dari agensi pengguna media sosial, termasuk aktor-aktor gerakan perempuan.

Dengan terbentuknya pola networked feminism semenjak masifnya media sosial, kelompok feminis pertama di Indonesia yang turut aktif dalam menyuarakan isu perempuan di media sosial dipionerkan oleh Indonesia Feminis dan diikuti oleh jejaring feminis lainnya, salah satunya oleh PurpleCode Collective, sebuah kolektif perempuan yang berfokus pada isu kesetaraan gender dalam teknologi. Artikel “The Rise of Feminist Movement in Indonesia” menjelaskan kalau jejaring kelompok feminis di Indonesia sudah terbentuk sebelumnya dan media sosial hadir dalam memperkuat jaringan yang sudah terbentuk. Penting untuk diketahui, bahwa pionir gerakan perempuan di media sosial ini berasal dari perkumpulan jaringan feminis di Jakarta, sehingga memiliki kecenderungan watak kelas menengah urban. Kondisi ini memiliki juga tidak bisa disterilkan dari konteks yang melingkungi secara sosial bahwa media sosial umumnya memiliki latar belakang kelas menengah.

Di sini, kita bisa kembali ke cerita di awal mengenai Devi, tokoh utama serial “Never Have I  Ever”. Apabila kembali kita melihat apa yang dilakukan Devi pada potongan adegan tersebut, ia bersikap dingin dengan apa yang terjadi di sekelilingnya namun tetap asyik scrolling media sosial untuk menyukai postingan aktivisme yang diunggah di Twitter. Watak dan preferensi Devi dalam hal ini didorong oleh tren dan kultur anak-anak seusianya yang memiliki kesamaan latar belakang dengannya, kelas menengah urban. Dalam diskursus aktivisme, tindakan yang dilakukan Devi telah bisa digolongkan sebagai bentuk aktivisme. Tindakan ini sebagai apa yang sering disebut dengan terma click-activism atau slacktivism. Tindakan aktivisme yang ditunjukkan melalui perilaku media sosial seperti like, share, retweeting, atau komen. Melalui tindakan sederhana, suatu isu berpotensi menyita perhatian audiens yang luas bahkan dari audiens yang tidak memiliki latar belakang aktivis.

Namun, tentu penting untuk mengenali bahwa alasan dalam tindakan like, share, dan comment tidak selalu didasari oleh komitmen dalam isu yang bersangkutan. Sebetulnya tindakan ini bisa didasari oleh alasan-alasan yang lebih materiil seperti perolehan reputasi dan popularitas. Namun, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa pertemuan logika ‘konektivitas’ pada media sosial dan jaringan gerakan perempuan telah cukup mampu menjadikan isu perempuan sebagai konsiderasi arus utama. Salah satunya adalah diskursus keadilan gender dalam ruang internet.

Perlawanan Perempuan pada Teknologi

Walaupun terdapat pembacaan optimis terhadap daya berontak perempuan, ruang teknologi, terutama menyangkut media dan ruang dalam bentuk komputasi dan digitalisasi, masih dirasa belum memiliki keberpihakan terhadap perempuan. Salah satu teoritikus perempuan, Sandra G. Harding, menyebut bahwa pengetahuan modern tidak melibatkan perempuan sebagai subjek yang signifikan. Harding menggugat  pemosisian subjek perempuan dalam pembentukan ilmu pengetahuan, yang kemudian secara spesifik disebut sebagai epistemologi feminis. Selaras dengan Harding, teoritikus perempuan dan teknologi Judy Wajcman menyebut perempuan mengalami peminggiran khususnya dalam bidang teknologi melalui pengasosiasian teknologi dengan karakter ke-laki-laki-an secara terberi. Bidang teknologi selain didominasi oleh laki-laki, juga secara historis melanggengkan penggunaan simbol dan bahasa yang maskulin. Kondisi ini mendorong perempuan untuk meletakkan aspek keperempuanannya untuk bisa relevan dengan teknologi, perkembangan sains modern, dan aspek komputasi.

Pada tahun 2022, saya berkesempatan turut serta dalam temu diskusi kawan-kawan perempuan yang diinisiasi oleh PurpleCode Collective. Diskusi saat itu sampai pada kesimpulan bahwa rangakaian pengetahuan perempuan terkait tubuhnya sangat dipengaruhi oleh bahasa dan simbol yang diinternalisasi oleh piranti yang kita gunakan sehari-hari dan salah satunya, melalui kombinasi gawai dan internet. Meskipun terbilang reduksi brutal jika menyebutnya sebagai satu-satunya penyebab, penggunaan simbol dan bahasa dalam ruang digital menjadi contoh bagaimana teknologi memiliki bias maskulin dan kapabilitasnya dalam melanggengkan kondisi tersebut. Contoh sederhananya melalui aplikasi pencatat jadwal menstruasi. Simbol yang ditunjukkan aplikasi mulai dari suara, warna, gerakan untuk menandai jadwal menstruasi memberikan penggambaran bahwa “menstruasi adalah satu fase yang harus diwaspadai”. Padahal, fase menstruasi adalah bagian dari siklus hidup perempuan yang wajar dan normal. Poin ini yang disebut oleh Wajcman sebagai material-semiotic practice dari teknologi, yang mana aspek materiil mewujud ke dalam simbol-simbol yang dimuat dan memiliki pemaknaan ideologis.

Pembacaan terhadap masalah-masalah ini yang dibaca oleh kelompok aktivis perempuan secara global. Mencuatnya media sosial dan diskursus feminisme gelombang keempat yang digadang-gadang menjadi aktivisme internet semakin mendorong ragam narasi tandingan dari aktivis perempuan. Gerakan feminisme transnasional, Association for Progressive Communication (APC) membentuk Manifesto Internet Feminis yang melahirkan 17 prinsip perlawanan terhadap teknologi yang bersifat kolonial dan maskulin. Manifesto ini mendorong perempuan untuk ‘merebut’ ruang teknologi yang saat ini didominasi perspektif laki-laki. Di Indonesia, salah satu yang mendukung dan berupaya mengarusutamakan ide Internet Feminis adalah PurpleCode Collective. Dalam praksisnya, PurpleCode Collective membentuk beberapa segmentasi konten yang berfokus pada isu keamanan digital, pembingkaian isu privasi sebagai isu feminis, dan penanggulangan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Pengarusutamaan Isu Gender: Is Social Media All That Matters?

Tentu merupakan kenaifan untuk menyebut media sosial adalah penentu keberhasilan gerakan perempuan. Namun, bisa dikatakan aktivasi media sosial menjadi salah satu faktor yang menyokong keberhasilannya. Mungkin lebih tepat untuk mengimajinasikan gerakan seperti sebuah aktivitas memasak. Dalam kegiatan memasak diperlukan beberapa alat dan proses sebelum makanan tersebut jadi dan bisa dinikmati. Dalam proses tersebut kita perlu mengupas, memotong, menggoreng, meniriskan dan lain sebagainya. Aktivasi media sosial menjadi salah satu dari proses krusialnya. Apabila mengesampingkan perdebatan apakah dengan like, share, dan comment bisa dikategorikan sebagai tindak aktivisme, saya kira praktik ini sedikit banyaknya telah berkontribusi pada bagian dari tujuan aktivisme: upaya pengarusutamaan. Saya pikir lebih krusial dan produktif untuk memandang aktivasi media sosial yang berwatak kelas menengah bukan sebagai langkah yang kurang menusuk persoalan, melainkan melihat sebagai hidupnya aktivisme dalam segala bentuk transformasi kapitalisme dan kolonialisme.

Next
Next

Ancaman Keamanan Manusia, dari Pernikahan Anak hingga Perubahan Iklim