Bagaimana Kinerja Indonesia dalam Menjaga Nilai-nilai Kesetaraan Gender di Kancah Dunia?

oleh nurrunuru

Banyak yang masih mengira kalau peran Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan gender itu disimbolkan pada saat Bu Retno Marsudi menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Hal tersebut seringkali dimaknai masyarakat Indonesia sebagai bukti bahwa pemerintah sudah mempertimbangkan kesetaraan gender dengan melibatkan perempuan sebagai perwakilan Indonesia di tingkat internasional. Lingkup diplomasi yang sangat kental dengan suasana maskulin membuat eksistensi perempuan sebagai pemimpin di dalamnya adalah suatu momentum langka yang perlu diapresiasi. Namun, sebetulnya sejak kapan sih Indonesia mulai benar-benar bergerak merespons kesepakatan dunia terkait isu kesetaraan gender?

Pada tanggal 28 September 1950, Indonesia telah resmi menjadi anggota PBB ke-60 dengan suara bulat dari para negara anggota. Peresmian ini terjadi kurang dari setahun setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar. Sebagai anggota baru PBB kala itu, Indonesia mulai aktif berpartisipasi dalam berbagai diskusi internasional seperti Konferensi Perempuan Sedunia. Dalam setiap konferensi pemerintah setiap negara anggota PBB, termasuk Indonesia, melaporkan kemajuan dan kemunduran yang terjadi pada kehidupan perempuan di negara mereka.

Indonesia juga turut mengembangkan kebijakan nasional yang berkontribusi pada diskusi internasional tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini menjabarkan tentang prinsip-prinsip hak asasi perempuan, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Sejak saat itu, bisa dibilang, Indonesia telah menyatakan serius untuk menangani serta mencegah seluruh tindakan yang berpotensi merampas keadilan dan kesejahteraan perempuan dari aspek apapun.

Tidak berhenti sampai di sana, implementasi ratifikasi CEDAW terus ditindaklanjuti. Sebagai langkah awal, untuk pertama kalinya Indonesia mengadopsi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang diundangkan pada 22 September 2004. Melalui UU PKDRT, perspektif masyarakat dan pemerintah Indonesia dibentuk agar melihat isu kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan publik dan tidak lagi menjadi urusan privat. Seiring berjalannya waktu, pemaknaan kekerasan dalam rumah tangga semakin diperluas dengan istilah kekerasan dalam relasi personal (KDRP) agar menjangkau bentuk-bentuk kekerasan pada relasi intim yang lain seperti pacaran, mantan pacar, mantan suami, dan lain-lain. Selama 17 tahun, CATAHU Komnas Perempuan telah mendokumentasikan ada sebanyak 544.452 kasus KDRT/RP.

Selain tanggap dalam diskusi kesetaraan gender di skala internasional, Indonesia juga aktif menyuarakan keadilan bagi perempuan bersama dengan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya. Sejak tahun 2010, Indonesia mulai berpartisipasi dalam ASEAN Committee on Women (ACW) yang memandatkan dua hal utama yaitu: (1) agar ASEAN melembagakan kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan mengembangkan dukungan yang berkelanjutan di seluruh pilar dan sektor, dan (2) agar setiap negara anggota memiliki layanan pencegahan dan perlindungan yang efektif yang didukung oleh kerangka hukum nasional yang memadai dan mekanisme kelembagaan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Perspektif gender dalam kebijakan, strategi dan program untuk pekerja migran serta Pengarusutamaan Gender merupakan salah dua dari tema implementasi yang masuk ke dalam Work Plan ACW Tahun 2016-2020.

Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam konteks mewujudkan tujuan kelima SDGs yaitu kesetaraan gender, melalui program nasionalnya Indonesia berorientasi pada aspek pemberdayaan perempuan dan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender. Salah satu program nasional di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah ‘Kampanye HeForShe’ yang diinisiasi oleh UN Women. Program tersebut diadakan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan partisipasi laki-laki sebagai privilege allies dalam upaya pemberdayaan perempuan dan mendorong perubahan sikap terhadap gender.

Setelah mengamati semua perjalanan eksistensi Indonesia mengadopsi kesepakatan forum-forum internasional yang memuat kesetaraan gender, kita perlu jeli melihat bahwa hampir semua kebijakan-kebijakan di atas adalah respons Indonesia terhadap agenda internasional yang bersifat insidental. Indonesia ternyata belum konsisten untuk mempertahankan keberlanjutan nilai-nilai kesetaraan gender dalam kebijakan luar negerinya. Sebagai contoh, pada tahun 2018, Siaran Pers Komnas Perempuan tentang 34 Tahun Ratifikasi Konvensi CEDAW di Indonesia melaporkan bahwa pemerintah Indonesia terakhir mengirimkan laporan pelaksanaan ratifikasi CEDAW pada tahun 2012. Setelah itu, di tahun 2016 pemerintah Indonesia tidak membuat laporan sama sekali, sehingga komite CEDAW tidak dapat meninjau perkembangan pemajuan hak asasi perempuan di Indonesia maupun menyusun rekomendasi bagi Indonesia. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Indonesia dapat membuat kebijakan luar negerinya yang peka gender dan inklusif menjadi konsisten dan tidak insidental?

Berdasarkan buku Revisiting Gender States: Feminist Imagining of the State in International Relations, negara adalah aktor politik yang dominan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam politik internasional. Para feminis yang bergerak dalam isu hubungan internasional masih terombang-ambing untuk merangkul kedua konsep yaitu negara sebagai satu-satunya institusi yang dapat mewujudkan hak asasi perempuan dan memperbaiki struktur patriarki, serta di saat yang sama juga mereka terus mengkritik negara sebagai tempat kekuasaan maskulin yang melanggengkan struktur patriarki melalui kebijakan domestik dan luar negeri. Salah satu contohnya adalah retorika PBB tentang stereotipe gender pada perempuan karena memposisikan perempuan sebagai penjaga perdamaian yang ‘alamiah’ dan tidak perlu bekerja terlalu keras untuk mewujudkan perdamaian.

Sebagian besar kajian dari para feminis yang menggeluti isu kebijakan luar negeri menilai program HeForShe merepresentasikan potensi peran negara sebagai aktor feminis di ranah internasional. Tapi, pada praktiknya, negara tetap berperan sebagai institusi maskulin yang hanya memanfaatkan penggunaan bahasa feminis namun tetap mengadopsi peran gender tradisional yaitu laki-laki sebagai pelindung. Ini adalah bukti kegagalan dalam mengatasi ketidaksetaraan gender secara mendasar. Alih-alih menjadi sekutu dan mempertahankan sentralitas bagi gerakan atau organisasi otonom perempuan yang sudah ada, negara justru membentuk agen perubahan baru yang independen dan berisiko menjadikan negara semakin kuat dalam posisi dominannya.

Sepertinya, Indonesia perlu meniru kebijakan luar negeri Swedia yaitu menekankan pada hak, representasi, dan sumber daya untuk perempuan. Tidak hanya memberikan kesempatan, tetapi negara juga penting memperkenalkan mekanisme institusional atau legislatif untuk mempromosikan kepemimpinan perempuan dalam portofolio kebijakan luar negeri. Dalam mencapai konsistensi kebijakan luar negeri yang inklusif gender, pemerintah Indonesia perlu mendapat pendidikan dan penguatan berkelanjutan mengenai kesetaraan gender di bidang diplomasi dan kebijakan luar negeri. Perspektif gender ini harus terintegrasi di semua aspek kebijakan, mulai dari perdagangan sampai resolusi konflik.

Terakhir, upaya menjaga keberlanjutan kebijakan luar negeri yang peka gender adalah memastikan pendekatan-pendekatan yang dilakukan menjadi bagian integral dari strategi nasional. Sama halnya dengan sistem monitoring dan evaluasi kebijakan secara umum, keberlanjutan konsistensi kebijakan luar negeri yang peka gender juga dilihat melalui penyesuaian kebijakan yang diperlukan berdasarkan hasil evaluasi. Dengan demikian, harapannya Indonesia dapat memperkuat posisi internasionalnya sebagai negara yang berkomitmen pada kesetaraan gender dan keadilan sosial.

Previous
Previous

Rangkul Aku untuk Tumbuh Bersamamu

Next
Next

Memaknai Hari Perempuan Internasional Dengan Lebih Mengenal Diri Sendiri