Gerakan Kekhawatiran terhadap RUU TNI dan Demokratisasi Gwangju 1980: Sebuah Refleksi Sejarah

oleh Umi Nurdianti

Sejak pelantikan Presiden terpilih 2025, berita buruk tak henti-hentinya datang dari pemerintah. Salah satu yang paling menyulut emosi publik saat ini adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Tidak hanya karena isinya yang kontroversial, tetapi juga karena proses pembahasannya yang dilakukan secara tertutup, jauh dari prinsip transparansi dan partisipasi publik. 

Kemarin, pada 20 Maret 2025, dengan ketukan palu, RUU TNI Nomor 34 Tahun 2004 resmi disahkan menjadi undang-undang. Apa yang pertama kali terlintas di benak saya? Drama Korea Youth of May. Bagi teman-teman yang belum memiliki gambaran mengenai dampak dari kebijakan ini, menonton drama tersebut bisa menjadi refleksi yang relevan agar lebih mudah memahami apa yang akan terjadi dan mengapa RUU TNI ini banyak memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia.

Banyak yang menilai bahwa revisi RUU tersebut berpotensi membuka kembali ruang intervensi militer dalam kehidupan sipil dan melemahkan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998. Dalam konteks sejarah global, kekhawatiran ini dapat dikaitkan dengan latar drama Korea Youth of May yaitu peristiwa Demokratisasi Gwangju pada Mei 1980 di Korea Selatan, yang menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap dominasi militer dalam pemerintahan.

Youth of May mengisahkan peristiwa kelam dalam sejarah Korea Selatan ketika militer mengambil alih kekuasaan sipil dengan dalih menegakkan keamanan, tetapi justru berujung pada pembantaian warga yang menuntut demokrasi. Rumah sakit, sekolah-sekolah dan tempat-tempat umum lainnya di jadikan sebagai tempat pembantaian, ribuan orang tewas, luka-luka, dan hilang tanpa jejak akibat penindasan brutal oleh aparat bersenjata yang seharusnya melindungi rakyat, bukan menindas mereka. 

Paralel antara RUU TNI dan Tragedi Gwangju

Pada Mei 1980, rakyat Gwangju bangkit melawan pemerintahan militer Chun Doo-hwan yang secara otoriter mengambil alih kekuasaan pasca kudeta Desember 1979. Gerakan demokrasi yang awalnya damai mendapat respons brutal dari militer, yang mengirim pasukan khusus untuk menekan demonstrasi dengan kekerasan. Ribuan orang menjadi korban, dan tragedi ini menjadi titik balik dalam perjuangan demokrasi Korea Selatan, yang akhirnya menggulingkan rezim militer pada akhir 1980-an.

Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran terhadap revisi RUU TNI muncul karena adanya pasal-pasal yang dapat memperkuat kembali keterlibatan militer dalam urusan sipil. Misalnya, adanya kewenangan tambahan bagi TNI dalam bidang keamanan dalam negeri, yang berpotensi mengaburkan batas antara tugas militer dan kepolisian. Hal ini mengingatkan pada era Orde Baru, di mana militer memiliki peran dominan dalam politik dan pemerintahan, yang berujung pada represi terhadap kebebasan sipil dan hak asasi manusia.

Belajar dari Gwangju: Mencegah Kembali ke Masa Kelam

Pada Pilpres 2024 lalu, latar belakang yang di miliki oleh Prabowo cukup menarik minat saya. Dia adalah seorang menteri pertahanan, pikir saya, dengan jiwa tegas yang dimilikinya sebagai seorang tentara mungkin akan membawa Indonesia ke arah kebijakan yang lebih jelas dan tegas. Mungkin tidak akan ada lagi pihak-pihak yang berani korupsi dan berlaku curang.

Namun, saya merefleksikan cukup lama ketegasan beliau juga berpotensi untuk  mengancam kedaulatan, kebebasan, dan keselamatan rakyat Indonesia, dan saya membayangkan suara, aktivitas, dan ruang gerak kita dalam berekspresi akan ditodongi senjata jika tidak sejalan dan selaras dengan yang mereka minta. Saya menjadi curiga kekalahan beliau selama dua kali memacu ketakutan luar biasa akan kecerdasan dan kekuatan yang dimiliki oleh rakyatnya sehingga satu-satunya cara yang dimiliki untuk melemahkan otoritas dan perjuangan rakyat adalah dengan mengisi posisi-posisi strategis oleh orang-orang bersenjata jadi kalau mau secerdas-cerdasnya masyarakat Indonesia kalau senjata sudah di todongkan akan berhenti bersuara.

Sejarah telah menunjukkan bahwa supremasi sipil adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat, dan Indonesia harus tetap waspada agar tidak mundur ke era dimana kekuasaan militer mengalahkan suara rakyat.
— Umi Nurdianti

Pelajaran dari Gwangju menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik dan kehidupan sipil sering kali membawa dampak negatif bagi demokrasi. Setelah tragedi tersebut, rakyat Korea Selatan semakin menyadari pentingnya supremasi sipil atas militer. Proses reformasi yang panjang akhirnya berhasil mengurangi peran militer dalam politik dan menjadikan Korea Selatan sebagai negara demokrasi yang stabil.

Indonesia seharusnya mengambil pelajaran serupa. Reformasi 1998 telah membawa perubahan besar dalam hubungan sipil-militer, termasuk pemisahan TNI dan Polri serta penghapusan dwifungsi ABRI. Namun, upaya revisi RUU TNI yang berpotensi memperluas kembali peran militer di ranah sipil dapat menjadi langkah mundur dari pencapaian tersebut.

Untuk itu, penting bagi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis untuk terus mengawasi dan mengkritisi isi RUU TNI agar tidak menjadi alat yang melemahkan demokrasi. Demokratisasi di Korea Selatan tidak terjadi secara instan, tetapi melalui perjuangan panjang melawan otoritarianisme. Jika Indonesia ingin mempertahankan dan memperkuat demokrasi, maka perlu belajar dari sejarah, termasuk dari peristiwa Gwangju, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Kekhawatiran terhadap RUU TNI bukan hanya soal regulasi, tetapi juga tentang menjaga cita-cita reformasi dan menghindari kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil. Sejarah telah menunjukkan bahwa supremasi sipil adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat, dan Indonesia harus tetap waspada agar tidak mundur ke era dimana kekuasaan militer mengalahkan suara rakyat.

Sebagai rakyat Indonesia yang dianugerahkan kecerdasan berpikir kalau kita tidak waspada, sejarah bisa terulang dengan wajah yang berbeda. Bayangkan, jika RUU TNI yang baru ini memberi ruang lebih besar bagi militer dalam ranah sipil, apakah kita akan menghadapi masa depan yang serupa dengan Gwangju 1980?

Demokrasi yang kita perjuangkan selama ini tidak boleh dikorbankan begitu saja. Karena itu, kita sebagai masyarakat harus terus bersuara, mengawal kebijakan, dan memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan yang dilindungi senjata.

Teror terhadap Jurnalis: Ancaman bagi Kebebasan Pers

Kekhawatiran terhadap kembalinya otoritarianisme militer semakin diperkuat dengan insiden teror terhadap jurnalis. Pada 19 Maret 2025, Kantor Tempo menerima paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Francisca Christy Rosana, yang dikenal sebagai host siniar Bocor Alus Politik. Paket tersebut diterima satpam kantor Tempo sekitar pukul 16.15 WIB dan baru dibuka pada 20 Maret 2025, mengungkap kepala babi dengan kedua telinganya terpotong.

Insiden ini bukan yang pertama. Sebelumnya, host siniar lainnya, Hussein Abri Dongoran, mengalami dua kali perusakan kendaraan oleh orang tak dikenal pada Agustus dan September 2024, diduga berkaitan dengan aktivitas jurnalistik yang dilakukannya.

Serangkaian teror ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Konsorsium Jurnalisme Aman, yang terdiri dari Yayasan Tifa, Human Rights Working Group (HRWG), dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan nyata terhadap kebebasan pers. Mereka menilai bahwa pengiriman paket berisi kepala babi merupakan bentuk teror terhadap kebebasan pers dan mencerminkan kecenderungan negara yang otoriter serta anti-kritik. 

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, juga mengecam keras aksi teror ini dan mendesak Kapolri untuk segera menyelidiki serta menemukan pelaku pengiriman paket teror tersebut. Ia menilai tindakan ini sebagai bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers dan upaya membungkam kerja jurnalistik yang independen.

Menjaga Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Insiden teror terhadap jurnalis dan pengesahan RUU TNI yang kontroversial menandakan adanya ancaman nyata terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Sebagai masyarakat yang dianugerahi kecerdasan berpikir, kita harus waspada agar sejarah kelam tidak terulang dengan wajah yang berbeda.

Demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini tidak boleh dikorbankan begitu saja. Kita harus terus bersuara, mengawal kebijakan, dan memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan yang dilindungi senjata. Dengan belajar dari peristiwa Gwangju dan insiden teror terhadap jurnalis, kita diingatkan akan pentingnya menjaga supremasi sipil, kebebasan pers, dan hak asasi manusia. Jangan biarkan upaya-upaya pembungkaman dan intimidasi mengikis nilai-nilai demokrasi yang telah kita bangun bersama.

Perspektif Perempuan dan keterlibatan perempuan dalam Gerakan Pro-demokrasi Lee Soo-Ryeon Drama Youth of May

Tidak sedikit perempuan yang berkeyakinan bahwa isu politik sama sekali tidak berdampak dan  mempengaruhi aspek-aspek hidup seorang perempuan. Padahal kita tahu kekerasan dan segala diskriminasi terhadap perempuan juga merupakan cikal bakal dari pemerintahan yang tidak cukup kompeten dalam memperlakukan dan memandang bahwa perempuan adalah manusia yang layak diberdayakan.

Tentu saja RUU TNI ini akan sangat berpengaruh bagi perempuan. Jika RUU TNI disahkan tanpa mempertimbangkan perspektif perempuan, dampaknya bisa sangat luas—mulai dari pembatasan hak-hak perempuan, meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender, memperlemah perlindungan terhadap korban kekerasan, hingga ancaman terhadap kebebasan sipil, ruang bersuara dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang sudah dibangun sejak lama berpotensi menjadi suatu hal yang dianggap perlawanan bagi mereka sehingga dapat melemahkan perjuangan perempuan.

Dalam situasi ini, perempuan yang aktif dalam advokasi hak asasi manusia, jurnalisme, atau gerakan sosial bisa menghadapi tekanan lebih besar, terutama jika kebijakan baru memberikan ruang bagi tindakan represif terhadap kritik. Oleh karena itu, sebagai perempuan kita perlu membenahi sudut pandang kita tentang politik dan ikut serta dalam memperjuangkan upaya untuk menuntut kebijakan yang lebih rasional.

Seperti halnya yang dapat kita contoh dari salah satu karakter di Youth of May yaitu Lee Soo-ryeon. Dia adalah gambaran perempuan berani yang menentang batasan sosial dan patriarki pada masa itu. Ia merupakan mahasiswa yang sangat berani dan vokal dalam gerakan pro-demokrasi Korea Selatan pada 1980.

Lee Soo-ryeon adalah salah satu tokoh yang mengorganisir dan berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi. Dalam beberapa adegan di Youth of May, ia terlihat selalu berada di garis terdepan protes, menyuarakan kebebasan dan demokrasi. Lee Soo-ryeon juga berperan dalam menyelundupkan informasi dan bantuan. Dia membuat dan membagikan selembaran yang berisikan kekejaman dan kebrutalan militer kepada masyarakat. Dengan latar belakangnya dari keluarga yang cukup kaya di Korea pada masa itu, dia juga cukup banyak menyumbang makanan dan keperluan lainnya yang dapat mendukung aksi mereka. Perjuangannya mungkin dapat membantu kita untuk melihat bahwa perempuan tidak hanya sebagai simbol perlawanan seperti yang ada dalam stigma masyarakat, perempuan juga merupakan motor penggerak dalam perjuangan. Perempuan bukan hanya korban dalam konflik politik, tetapi juga pejuang yang berani berdiri di garis depan perlawanan.

Lee Soo-ryeon adalah representasi perempuan yang tidak hanya berani, tetapi juga berprinsip dan tidak takut menghadapi kekuatan yang mengancam kebebasan. Keberaniannya dalam Youth of May menggambarkan bagaimana perempuan bisa menjadi pemimpin perubahan, bahkan di tengah situasi yang paling berbahaya sekalipun.

Previous
Previous

Respons atas Kebijakan Elit Politik yang Pongah: Marah dan Gundah Menyelimuti Perjalanan Aktivisme Perempuan

Next
Next

Gandeng Gendong : Saling Merangkul Demi Kebebasan Berekspresi