Respons atas Kebijakan Elit Politik yang Pongah: Marah dan Gundah Menyelimuti Perjalanan Aktivisme Perempuan
oleh Fia
Kemarahanku ini mungkin sulit dimengerti oleh banyak orang. Rasa marah yang berbalut kecintaan terhadap negeri ini memang tidak bisa diterjemahkan dalam pilihan kata yang santun dan lemah lembut. Akhir-akhir ini aku sedang memikirkan strategi, bagaimana agar kemarahanku ini tidak ditafsirkan mentah-mentah sebagai kemarahan seorang perempuan yang membabi buta dan penuh kebencian terhadap pemerintah. Semoga saja, kemarahanku tidak disepelekan sebagai efek samping dari perubahan hormonal menjelang menstruasi.
Aku akan mulai dari memahami bagaimana kemarahan ini bisa hadir di dalam diriku. Sejak berkuliah S2 Kajian Gender, aku memiliki privilese untuk memahami secara kritis bagaimana negara sebagai institusi kerap mengatur dan memenjarakan tubuh perempuan melalui kebijakan-kebijakan ngawur-nya. Hal ini terus terjadi sepanjang masa karena konstruksi kepemimpinan dan urusan politik selalu diberikan kepada laki-laki, sehingga tanpa sadar kita—sebagai perempuan—telah tenggelam dalam cara berpandang yang maskulin.
Tentunya, dalam konteks yang lebih luas, situasi politik di Indonesia saat ini tidak hanya dapat dikritisi dari sudut pandang perbedaan gender. Lensa interseksionalitas harus digunakan untuk melihat lebih jeli siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari sebuah kebijakan. Terlepas laki-laki atau perempuan, jika mereka dari kalangan elit politik yang tone-deaf dan tidak merepresentasikan kebutuhan sipil akar rumput, maka aku memerangi mereka.
Terdengar galak dan berani, kan? Tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa aku bahkan tidak seyakin itu untuk menantikan masa di mana negera ini dapat membuat kebijakan yang adil dan setara bagi semua pihak. Ide tentang negara berideologi sosialisme pernah terlintas dalam benakku dan membayangkan apa jadinya Indonesia berpegangan dengan ideologi tersebut. Aku terkekeh geli dengan imajinasiku barusan. Selain karena kalut dalam pikiran idealis, sejujurnya hal itu merupakan respons atas rasa pesimisku terhadap ideologi Pancasila-is (meskipun kata Rocky Gerung ini bukan sebuah ideologi) yang selama ini kita yakini sebagai kompas moral dalam bernegara. Akhirnya, rasa pesimis dan idealis itu bercampur aduk di dalam kepalaku, sampai aku tidak tahu bagaimana pula memisahkan mereka berdua. Seperti yang kukatakan di awal tulisan, perasaan ini sulit sekali diuraikan dalam bahasa keseharian.
Aku tidak ingin memasang target yang terlalu tinggi untuk jalan aktivisme yang sunyi ini. Namun, aku masih percaya bahwa bangsa ini belum kehilangan semangat juangnya. Beberapa bulan ini, gerakan mahasiswa dan komunitas sipil lainnya serentak menyuarakan kemarahan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Kondisi ini mengingatkanku pada perjuangan pahlawan kita terdahulu yang bertaruh nyawa demi kemerdekaan di atas kemarahan terhadap kolonialisme. Sayangnya, saat ini kolonialisme telah berevolusi dalam wajah pemimpin kita sendiri. Kita lama tertidur lelap, tanpa sadar mereka sudah banyak melakukan penjajahan melalui kebijakan yang nampak berjarak dari kehidupan kita.
Mengapa pula feminis ini ikut mengkritik UU TNI, RUU Polri, RUU Minerba, dan RUU lainnya? Pertanyaan yang tidak asing, dan percayalah pertanyaan ini secara implisit sampai ke telingaku melalui perantara adik perempuan yang memberi kesaksiannya atas Mama yang lebih senang aku bersuara soal “perempuan” saja. Jika memang bukan perempuan masalahnya, maka artinya masalahnya ada pada bagaimana konstruksi patriarkal telah membentuk kita agar melihat perempuan sebagai entitas yang diam dan menerima. Parahnya lagi, sesama perempuan pun bisa meminta perempuan yang lain untuk tidak terlalu mengurusi urusan “negara”. Sejak itulah aku menyadari bahwa negara ini memang menyukai kepemimpinan maskulin, melanggengkannya melalui produk kebijakan, dan memaksa setiap perempuan untuk berada di dalamnya dengan mematuhinya tanpa memberi ruang bercengkrama satu sama lain.
Aku memahami bahwa tidak semua perempuan berkesadaran atas budaya patriarki yang telah memenjarakan mereka agar tidak bisa berpikir kritis di luar gelembung-gelembung normatif. Suara-suara yang menyuruhku untuk diam dan beralih mengurusi hal lain yang sudah menjadi “kodrat” adalah fakta bahwa konstruksi ini telah menghegemoni dan bergerak dalam cara pandang seseorang.
Aku mengakui, bagian tersulit dari kemarahan ini adalah usaha untuk mempelajari ulang pemaknaan tentang bagaimana perempuan harus menjalani hidupnya. Kehidupan sebagai warga negara perempuan adalah kehidupan yang penuh dengan pertimbangan politis agar dapat menjalani hidup yang membebaskan dan menebar jaring-jaring manfaat untuk sesama. Pertimbangan politis ini bergantung pada proses hukum dan kebijakan yang berlaku dalam sebuah negara, karena kedua aspek ini turut berkontribusi terhadap jalannya misi-misi kehidupan perempuan sebagai makhluk yang merdeka. Entah bagaimana inti kemarahanku ini dapat tersampaikan kepada khalayak yang tidak mengenyam pendidikan yang sama sepertiku. Sebagai alternatifnya, aku bersama teman-temanku membentuk komunitas kolektif dan berupaya menjejalkan informasi politik secara perlahan serta memperlihatkan satu per satu dampaknya terhadap kehidupan perempuan.
“Aku memahami bahwa tidak semua perempuan berkesadaran atas budaya patriarki yang telah memenjarakan mereka agar tidak bisa berpikir kritis di luar gelembung-gelembung normatif. Suara-suara yang menyuruhku untuk diam dan beralih mengurusi hal lain yang sudah menjadi “kodrat” adalah fakta bahwa konstruksi ini telah menghegemoni dan bergerak dalam cara pandang seseorang.”
Belakangan ini, aku dan teman-teman di balik Perempuan Threads mencoba mengemas pemberitaan situasi politik Indonesia dengan kajian sederhana dalam bentuk artikel populer. Tidak hanya menyoal pengesahan kebijakan yang kontroversial, kami juga mencoba menjembatani pemahaman atas “pembungkaman” terhadap suara perempuan yang terjadi dalam pemerintahan bergaya otoritarian saat ini. Meski tidak bertujuan untuk melakukan simplifikasi terhadap dinamika politik yang ada, namun kami merasa bahwa konten carousel tetap diperlukan agar dapat menjangkau lebih banyak pihak. Di sinilah titik dilematisnya, menurutku, penyadaran kritis tidak bisa hanya disandarkan pada konten-konten sederhana. Selain karena kemungkinan ada reduksi substansi, aku juga punya rasa takut kalau konten-konten tersebut dapat mengganggu kenyamanan pemerintah di atas sana. Itu memang tujuan utamanya, tetapi kemungkinan terburuk juga menyertai kami.
Ketakutan adalah hal yang manusiawi. Sebagai perempuan, ketakutan itu terasa lebih mencengkam di tengah rezim represif. Bukan hanya pembungkaman, sewaktu-waktu tersisa tinggal jasad pun tidak menjadi soal lagi bagi para psikopat. Aku pun pernah memikirkan kemungkinan berlebihan itu di dalam kepalaku. Menurut ilmu psikologi yang kutahu, tentunya yang bersliweran di media sosial, rasa takut adalah pertanda tubuh memberi alarm agar otak menyusun strategi yang lebih aman untuk melakukan sesuatu. Ketakutan tidak perlu dihilangkan atau dilawan. Sebaliknya, ketakutan justru menuntunku agar dapat mengungkapkan kemarahan ini dengan cara-cara yang tidak biasa. Namun, cara biasa itu perlu dilakukan sesekali. Sisanya, aku harus memikirkan cara-cara yang berkepanjangan dan tidak merugikan banyak pihak. Salah satunya adalah menuliskan refleksi ini dengan perasaan gundah dan mempertanyakan, akankah aku akan tetap di sini atau aku bisa hengkang kapan saja yang aku mau?