Feminisme Dekolonial dalam Cermin Perlawanan Perempuan Palestina

oleh Tri Febi Maharani

Foto oleh Oka Kertiyasa

Sudah lebih dari 230 hari sejak Israel melancarkan serangan genosida terhadap Palestina. Lebih dari 38.000 orang telah menjadi korban akibat kekerasan yang dilakukan oleh Israel, termasuk pengeboman, penembakan, dan serangan rudal. Semua aturan perang dilanggar tanpa malu, dengan serangan yang bahkan menargetkan sekolah dan tempat penampungan yang seharusnya aman. Banyak media lokal dan internasional terus memberitakan kejadian ini, Riyad Mansour, utusan Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyebut situasi di Palestina saat ini sebagai "genosida yang paling terdokumentasikan dalam sejarah.” Banyak video dan foto tersebar luas di media sosial kita, menunjukkan kengerian genosida  yang terjadi di Palestina. Kita melihat reruntuhan bangunan, tubuh yang hancur, dan korban yang tak terhitung jumlahnya, termasuk lansia, perempuan, ibu hamil, bahkan anak-anak. 

Tentu, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak harus ditolak dengan tegas di mana pun itu terjadi. Saat membicarakan situasi di Palestina, penting untuk mengenali bahwa konflik tersebut mempengaruhi seluruh komunitas dengan berbagai cara, termasuk dampaknya terhadap perempuan dan anak-anak. Gerakan feminisme sering kali menyoroti bagaimana konflik bersenjata dan pendudukan dapat memperburuk kondisi perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun tak jarang, jika membahas mengenai genosida di palestina kita kerap melihat pertemuan silang antara feminisme dan zionisme. Tak jarang kita melihat seorang perempuan mengidentifikasi dirinya sebagai feminis namun mendukung zionisme. 

Stephanie Hausner, seorang councilwoman dari Amerika Serikat, percaya bahwa nilai-nilai Zionisme dan feminisme dapat berjalan seiringan. Baginya, Zionisme yang ia definisikan sebagai gerakan untuk membangun kembali dan mengembangkan bangsa Yahudi di wilayah Israel, memiliki banyak kesamaan dengan feminisme yang memperjuangkan penghapusan kekerasan dan pembebasan perempuan. Hausner menekankan bahwa kebijakan di Israel, seperti cuti hamil yang dibayar dan subsidi untuk fertilisasi in vitro, mendukung kesejahteraan perempuan, mencerminkan komitmen terhadap keadilan sosial yang juga mendasari perjuangan feminis. Padahal, seperti apa yang dikatakan oleh Mariam Barghouti, bahwa kita tidak bisa menjadi feminis sekaligus zionis. Kita harus setuju bahwa menjadi feminis sambil mendukung zionisme adalah sesuatu yang bertentangan, karena feminis yang mendukung zionisme pada saat yang sama memperkuat opresi, kekerasan, dan dominasi terhadap suatu kelompok, sementara tujuan feminis sejatinya adalah mengakhiri struktur dominasi patriarki.

Feminisme muncul untuk melawan pembungkaman dan eksploitasi perempuan, melawan kekuatan yang menekan dan mengendalikan seluruh lapisan masyarakat, dan apa-apa yang diperjuangkan oleh kaum feminis adalah pembebasan yang harus direbut karena nilai-nilai patriarki yang tumbuh mengakar. Seperti yang pernah ditulis oleh penulis feminis bell hooks, patriarki adalah sistem dominasi yang lengkap. Seharusnya, perjuangan feminis tidak hanya melawan seksisme patriarki, tetapi juga semua bentuk penindasan.

Yang terjadi di Palestina di bawah pengaruh Zionisme selama ini adalah bentuk serupa dengan pembungkaman masyarakat secara keseluruhan dan pelarangan terhadap perlawanan atas kekerasan penjajahan. Sayangnya, seorang tokoh feminis seperti Stephanie Hausner justru membela penjajahan ini. Karena itu, kita harus menyadari sepenuhnya bahwa ada sekelompok orang dari Barat yang mengadopsi agenda feminis namun kurang memahami konteks sejarah, dan tidak mengakui bahwa penindasan di Palestina adalah bagian dari proyek imperialisme dan bentuk penindasan yang berkepanjangan. Meskipun ada tokoh perempuan terkenal seperti Taylor Swift yang sering menggembar-gemborkan pemberdayaan perempuan, sikap netral yang ia pilih di tengah genosida yang sedang berlangsung menunjukkan kurangnya pemahaman atau kepedulian terhadap penderitaan rakyat Palestina. Netralitas dalam situasi seperti ini sama dengan pembiaran dan pembenaran terhadap genosida.

Kelompok-kelompok feminis putih kerap tidak menyadari bahwa ada lapisan kelas yang dalam dan kerap meminggirkan perempuan kulit berwarna. Mereka kerap mengabaikan isu keadilan rasial dan kenyataan bahwa perempuan mengalami bentuk-bentuk penindasan karena perbedaan ras, etnis, suku dan bahkan warna kulitnya. Françoise Vergès dalam bukunya, A Decolonial Feminism, pernah berkata: “Perempuan di belahan bumi selatan selalu berada di garis depan perjuangan feminis, namun suara mereka tidak pernah didengar kecuali jika mereka dijadikan alat. Anda harus menjunjung tinggi suara mereka, membaca materi mereka, dan memfokuskan kembali narasi mereka.”

Memahami persoalan penindasan yang terjadi oleh perempuan dapat kita lihat melalui konsep feminisme interseksional yang diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw yang menyoroti bagaimana berbagai bentuk penindasan saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, menciptakan pengalaman yang unik dan berbeda bagi perempuan dari latar belakang yang berbeda. Secara sederhana Crenshaw menggambarkan interseksional sebagai “penindasan terwujud secara berbeda bagi perempuan yang berbeda.” 

Pemikiran interseksional memang telah membawa perubahan signifikan dalam wacana feminisme global, memungkinkan kita untuk melihat lebih dalam lagi tentang bagaimana pengalaman berbeda-beda perempuan terkait dengan ras, kolonialisme, dan imperialisme mempengaruhi perjuangan mereka. Mendorong pemikiran feminisme dekolonial, Françoise Vergès dengan tajam menyoroti perlunya definisi feminisme yang relevan bagi perempuan yang menghadapi rasialisasi, disertai pemahaman yang aktif dalam perjuangan anti-kolonial dan anti-rasis. Ini mengajak kita untuk menghargai peran penting perempuan yang berada di garis depan perlawanan terhadap penjajahan dan rasisme.

Dari Palestina hingga Kolombia, dan Kashmir, kita dapat melihat bahwa penindasan terhadap perempuan seringkali berkaitan erat dengan sejarah kolonialisme dan imperialisme. Memahami akar dari kolonialisme ini membantu kita untuk membangun solidaritas yang lebih mendalam dan berkelanjutan. Feminisme dekolonial mengajak kita untuk menciptakan gerakan feminis yang tidak hanya inklusif tetapi juga mengangkat suara perempuan dari seluruh dunia, bukan hanya yang berasal dari Barat. Ini berarti mengakui bahwa penindasan yang dialami oleh perempuan di berbagai belahan dunia memiliki akar yang dalam sejarah kolonialisme dan imperialisme.

Feminisme dekolonial memperlakukan interseksionalitas dengan kompleksitas yang lebih dalam, memperluas analisisnya dengan mempertimbangkan faktor budaya, geopolitik, dan sejarah. Dalam konteks penindasan yang terjadi di Palestina, ini berarti tidak hanya mempertimbangkan penindasan gender, tetapi juga bagaimana kolonialisme Israel dan dukungan internasional terhadapnya mempengaruhi pengalaman perempuan Palestina secara keseluruhan. Hal ini mencakup tantangan terhadap struktur kekuasaan yang tidak hanya mereduksi perempuan Palestina menjadi korban, tetapi juga aktor-aktor dalam perlawanan terhadap pendudukan dan penindasan yang mereka hadapi.

Pada saat yang sama, isu genosida dalam konteks Palestina menjadi perdebatan karena beberapa pihak menganggap tindakan Israel sebagai upaya untuk menghancurkan atau mengusir kelompok Palestina secara sistematis, sementara pendukung Israel menolak klaim ini dan menganggap tindakan mereka sebagai respons terhadap ancaman keamanan yang nyata. Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas politik dan sejarah yang panjang di kawasan tersebut, termasuk hubungan internasional yang mempengaruhi narasi dan respons terhadap konflik ini. Dalam konteks feminis dekolonial, analisis terhadap genosida di Palestina tidak hanya melihat dampaknya terhadap populasi secara umum, tetapi juga bagaimana perempuan Palestina mengalami penindasan ganda yang berasal dari kolonialisme Israel dan sistem patriarki yang melingkupinya. Perempuan Palestina kerap menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel, disamping itu operasi yang dilakukan akibat luka-luka yang mereka alami bahkan ibu hamil yang melahirkan secara sesar kerap dilakukan tanpa anastesi. Pengusiran paksa dan penghancuran rumah oleh otoritas Israel membuat banyak keluarga Palestina kehilangan tempat tinggal, yang menambah beban pada perempuan yang harus mengurus keluarga di tengah krisis. 

Terakhir, penting bagi kita semua untuk memahami bahwa isu-isu perempuan tidak dapat dipisahkan dari realitas politik dan sosial tempat mereka hidup. Perempuan di Palestina telah memainkan peran sentral dalam perlawanan terhadap pendudukan Israel dan patriarki yang mengatur kehidupan mereka. Mereka tidak hanya melawan penindasan fisik dan penghancuran infrastruktur, tetapi juga menghadapi tantangan dari rezim politik yang sering kali didukung oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat memberikan dukungan politik dan militer yang signifikan kepada Israel, yang memperkuat kemampuan Israel untuk melanjutkan kebijakan pendudukannya. Perempuan Palestina harus hidup di bawah pendudukan yang semakin kuat dan represif, yang didukung oleh bantuan dan perlindungan dari kekuatan global. Perjuangan mereka untuk emansipasi tidak dapat dipisahkan dari konteks politik dan ekonomi di mana mereka berjuang untuk kesetaraan gender sambil melawan rezim yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka secara signifikan. Solidaritas global terhadap perlawanan perempuan Palestina penting dalam mendukung aspirasi mereka untuk kemerdekaan dan pembebasan dari okupasi. 

Peace is white men’s words, liberation is ours. From the river to the sea, intifada until Palestinian’s free!!

Previous
Previous

Pilu Menjadi Perempuan: Sudah Menjadi Korban Tetapi Disalahkan Juga

Next
Next

Rangkul Aku untuk Tumbuh Bersamamu