Stigma, Kriminalisasi Aborsi, dan Hak Asasi

oleh Riza Dian

Aborsi di Indonesia kerap menjadi isu yang tersembunyi, tersembunyi namun tepat di depan mata.
— Dokumenter Benang Merah

Tiga tahun lalu ditemukan sebuah klinik aborsi ilegal yang tercatat telah mengurus 32.760 janin, dua tahun lalu seorang anak menemukan tangan seorang bayi di selokan rumahnya yang setelah ditelusuri rupanya adalah sisa mayat aborsi yang dilakukan oleh Ibunya demi memenuhi biaya kosnya, dan satu tahun lalu seorang ibu yang mengandung 7 bulan digulingkan ke tebing karena menolak permintaan temannya untuk mengaborsi kandungannya.

Kisah pilu aborsi di Indonesia terjadi disebabkan karena stigma, keterbatasan akses aborsi aman, dan kriminalisasi tindakan aborsi. Kondisi yang mempersulit aborsi ini menyebabkan kebanyakan ibu cenderung takut dan memilih melakukan aborsi secara ilegal, rahasia, dan tidak aman. 

Berdasarkan hukum di Indonesia, tindakan aborsi merupakan tindakan kriminal. Pasal 299, 346-348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur bahwa pidana tidak hanya berlaku bagi para pelaku aborsi akan tetapi juga para pihak yang terbukti terlibat dalam tindakan aborsi. Peraturan ini nantinya akan mengalami sedikit perubahan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 yang mengatur lebih lanjut bahwa aborsi boleh dilakukan bagi perempuan yang merupakan korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual dalam umur kehamilan tidak melebihi 14 minggu atau yang memiliki indikasi kedaruratan medis tertentu. 

Dalam Pasal 75-77 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur lebih spesifik bahwa tindakan aborsi diperbolehkan dalam beberapa keadaan yang terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan diantaranya adalah hal-hal yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Peraturan tentang aborsi diperbarui dalam Pasal 60-62 dan ketentuan pidananya pada Pasal dalam pasal 427-429 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, ketentuan aborsi dalam peraturan perundang-undangan ini masih melarang tindakan aborsi terkecuali bagi orang yang termasuk dalam kriteria Pasal 60 ayat (2). Dengan dilarangnya tindakan aborsi dalam regulasi, secara hukum maka perbuatan aborsi merupakan perbuatan melawan hukum yang apabila dilanggar maka akan terdapat sanksi dan konsekuensi yang harus diterima pelaku aborsi atau orang yang terlibat dalam proses aborsi yang tidak legal. Hal ini lah yang disebut sebagai kriminalisasi tindakan aborsi. 

Dalam peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022, Anjali Sen sebagai perwakilan UNFPA Indonesia menyampaikan bahwa “sekitar 60% dari kehamilan tidak direncanakan itu tidak diinginkan dan berakhir dengan aborsi.” Dari total estimasi tahunan sekitar 70.000 kematian karena aborsi tidak aman di dunia, lebih dari 99% terjadi di negara berkembang (developing countries). WHO (World Health Organization) memperkirakan jumlah aborsi ilegal di Indonesia sebanyak 22 kasus tiap 1000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun), dengan asumsi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 terdapat 69,4 juta perempuan di Indonesia. Berdasarkan data yang dilansir oleh Nikkei Asia yang dibuat oleh Guttmacher Institute dan WHO (lihat tabel 4), Indonesia menempati posisi ke-6 sebagai negara dengan jumlah aborsi terbanyak diantara negara-negara Asia. Data–data di atas menjadi anti-thesis bagi paham yang mengilhami bahwa mengkriminalisasi aborsi melalui hukum dapat mengurangi angka aborsi dalam suatu negara. Faktanya bahkan dengan proses formil dan regulasi yang ‘jelas’, kriminalisasi aborsi di Indonesia tidak berhasil mengurangi angka aborsi dalam negeri. Alih-alih mengkriminalisasi aborsi justru menyebabkan terjadinya aborsi yang tidak aman yang merugikan baik ibu, janin, hingga orang terdekat yang terlibat. The Committee on the Elimination of Discrimination Against Women menyampaikan bahwa “Ketentuan pidana dari aborsi faktanya tidak memberikan efek jera dan justru menyebabkan perempuan melakukan tindakan yang membahayakan nyawa dan kesehatan mereka dikarenakan terbatasnya akses.”

Sejarah awal kriminalisasi dan pembatasan aborsi berangkat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia yang telah diakui secara internasional. Pada akhir abad ke 19 hampir seluruh negara melakukan pembatasan terhadap aborsi. Pembatasan atau kriminalisasi secara hukum dari hampir setiap negara bersumber dari hukum kolonial pada negara tersebut seperti Inggris, Prancis, Portugal, Spanyol, dan Italia yang memberlakukan hukum dan peraturan perundang-undangan mereka pada wilayah jajahannya. Pembatasan terhadap aborsi ini didasari alasan-alasan seperti: aborsi berbahaya dan mengancam nyawa perempuan, aborsi dianggap sebagai sebuah penyelewengan moralitas dan dosa, melindungi nyawa janin yang dikandung. Karena alasan-alasan tersebut, hukum aborsi ditujukan untuk menghukum dan memberikan efek jera bagi para pelakunya. Alasan-alasan ini muncul ketika metode aborsi aman belum ditemukan. Kini, perkembangan dunia medis berhasil menemukan metode aborsi aman yang dapat mengurangi resiko-resiko yang muncul pada aborsi tidak aman. Oleh karenanya, menurut aktivis aborsi, regulasi terkait kriminalisasi aborsi harus dihilangkan.

Pembatasan dan kriminalisasi aborsi dalam hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dilandasi dengan dasar untuk mewujudkan perlindungan hak hidup yang merupakan non-derogable right bagi setiap jiwa manusia di dunia ini, termasuk di antaranya adalah unborn child.  HAM bagi entitas manusia di dunia ini dalam hukum internasional diakui diantaranya dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pengakuan atas hak hidup bagi setiap manusia secara tertulis disebutkan dalam article 3 UDHR dan article 6 ICCPR yang menekankan bahwa semua orang berhak memiliki hak untuk hidup. Pada mulanya tidak ada pengakuan tata hukum internasional terhadap hak untuk aborsi atau hak untuk mati karena dampak dari aborsi (yang tidak aman) dianggap sebagai pelanggaran dari hak hidup. Dalam hal ini, aborsi dimaknai sebagai tindakan di mana seseorang menggugurkan sebuah janin secara sengaja dan merenggut janin secara keji. Namun, setelah ditemukan metode aborsi aman dan berkembangnya edukasi serta kajian yang dilandaskan dari sudut pandang perempuan, baik secara medis atau psikologis, sudah saatnya regulasi tentang aborsi harus diperbarui. 

Menurut sebuah analisis yang dibuat oleh Stuart W. G. Derbyshire, sebuah janin dapat merespon rangsangan berbahaya dengan rasa sakit apabila janin tersebut telah memiliki sebuah sistem alarm. Ia menganalogikan bahwa hubungan antara ujung saraf dan otak serupa dengan kabel listrik dari tombol ke jam alarm, otak merupakan ‘alarm’ yang dapat memunculkan rasa sakit.  Oleh karena itu, untuk mengetahui kapan seorang janin merasakan rasa sakit dapat ditentukan berdasarkan kapan sistem dari otak itu terbentuk.  Dalam tulisannya, Stuart menyimpulkan bahwa sirkuit saraf untuk nyeri pada janin masih belum sepenuhnya matang dan masih diperlukan proses perkembangan lebih lanjut untuk merasakan rasa sakit secara utuh. Ia berpendapat bahwa sistem neuroanatomical sebuah janin dapat disimpulkan telah selesai terbentuk ketika telah memasuki usia kehamilan 26 minggu. Ia menyatakan dan membuktikan secara ilmiah bahwa paradigma yang menyatakan bahwa aborsi memberikan rasa sakit tidak didukung dengan bukti. Dan perintah secara hukum atau klinis yang melakukan intervensi berdasarkan hal ini dapat membahayakan wanita terhadap intervensi, resiko, dan tekanan yang tidak tepat. 

Sebagai jalan tengah dalam upaya untuk melindungi hak untuk hidup bagi janin, dekriminalisasi aborsi, dan aborsi bagi perempuan dan/atau ibu, maka para penyusun kebijakan harus mulai sadar bahwa telah terdapat diskursus yang berkembang mengenai aborsi aman dan dekriminalisasi aborsi. Tuntutan dekriminalisasi aborsi yang didukung oleh United Nations Human Rights (UNHR) Bodies menekankan bahwa tiap negara diharap memastikan bahwa layanan aborsi telah sesuai dengan tolak ukur HAM sebagai bentuk perwujudan kewajiban negara dalam menghapus diskriminasi perempuan dan untuk memastikan bahwa hak kesehatan perempuan serta hak fundamental lainnya terpenuhi. 

Dalam tulisan Marge Berer berjudul Abortion Law and Policy around the World in Search of Decriminalization, ia mendefinisikan bahwa definisi dari Dekriminalisasi Aborsi berarti menghapus ketentuan sanksi pidana tertentu yang melawan aborsi dan merubah regulasi dan ketentuan yang berhubungan dengan itu dengan tujuan tidak menghukum siapapun yang menyediakan aborsi yang aman; tidak menghukum siapapun yang melakukan aborsi; tidak melibatkan polisi atau menuntut penyediaan atau praktik aborsi aman; tidak melibatkan peradilan dalam menentukan boleh atau tidaknya seseorang melakukan aborsi; serta memperlakukan aborsi sebagaimana bentuk fasilitas kesehatan lainnya dan menetapkan hukum yang ada untuk menangani praktik yang berbahaya atau tidak bertanggung jawab. 

Dalam tulisan berjudul Information Series on Sexual and Reproductive Health and Rights yang ditulis oleh UNHR menyatakan bahwa “menolak akses perempuan terhadap aborsi dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak atas kesehatan, privasi, dan dalam beberapa kasus, hak bebas dari penyiksaan, tidak berkemanusiaan, dan merendahkan, namun committee juga menekankan bahwa pengaturan tentang hal ini harus diikuti dengan tolak ukur tertentu yang melindungi hak untuk hidup bagi perempuan dan orang-orang lainnya yang terlibat sebagaimana tercantum dalam Kovenan.” Perlu digaris bawahi bahwa UNHR tidak mendukung dilegalkannya aborsi dalam suatu sistem hukum secara radikal, melainkan mendukung penyediaan ruang aborsi aman secara legal yang bisa dijangkau oleh para perempuan dengan tetap menghargai haknya untuk mengurangi dampak dan resiko yang terjadi akibat aborsi. 

Kembali meninjau dari sudut pandang Indonesia, menurut dialog yang disampaikan Ibu Rita S. Kalibonso, S.H., LL.M. dalam dokumenter Benang Merah, “Negara masih belum ada tempat yang secara resmi disediakan oleh pemerintah menjadi tempat yang bisa diakses oleh korban secara aman, sehingga korban takut untuk di kriminalisasi sehingga terjadilah korban yang mencari aborsi yang tidak aman.” Padahal aborsi di Indonesia kebanyakan bukan dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, tapi justru oleh orang telah menikah dan memiliki anak juga oleh orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kriminalisasi aborsi dan akses aborsi aman yang masih sangat terbatas merupakan problematika utama di tatanan masyarakat, ibarat menabur garam pada luka, keterbatasan ini juga yang menyebabkan stigma tentang aborsi tidak kunjung mereda.

Rekomendasi Penulis

  1. Untuk Pemerintah dan Tenaga Kesehatan

    1. Melakukan peninjauan ulang regulasi nasional (KUHP, UU. No. 39 Tahun 2009) yang berkaitan dengan aborsi.

    2. Melakukan dekriminalisasi aborsi yang dikaji berdasarkan sudut pandang perempuan dengan mengutamakan hak asasi manusia dan keamanan yang selaras dengan regulasi internasional berkaitan dengan aborsi dan HAM.

    3. Menyederhanakan regulasi berkaitan dengan pelaksanaan aborsi dan membebaskan pelaku aborsi dari beban administratif yang berlebihan untuk mempercepat dan mempermudah akses pelaku aborsi ketika melakukan aborsi.

    4. Melakukan pemberdayaan rutin terhadap masyarakat awam dan perempuan tentang aborsi untuk mengedukasi dan mengubah stigma aborsi agar dapat menyediakan ruang aman bagi pelaku aborsi.

    5. Menyediakan pendampingan secara psikologis dengan akses yang mudah dan terjangkau kepada calon/pelaku aborsi untuk menyediakan ruang aman bagi pelaku aborsi.

  2. Untuk Calon/Pelaku Aborsi

    1. Mempelajari dan menerima keadaan dan psikologis dalam diri.

    2. Mempelajari dan memberdayakan diri dengan pengetahuan berkaitan dengan aborsi aman.

    3. Mencari bantuan dan pendampingan profesional sebelum dan selama menjalani proses aborsi.

  3. Untuk Masyarakat

    1. Memperkaya diri dengan beribu sudut pandang kehidupan dan mempelajari kisah pelaku aborsi.

    2. Mempelajari aborsi dan menggunakan ilmu tersebut ketika bertemu korban aborsi.

    3. Peka dan berhati-hati dalam berucap, pahami bahwa beberapa pelaku aborsi merupakan korban dan berada dalam situasi yang membingungkan.

    4. Mematuhi dan membantu pelaksanaan regulasi aborsi dan proses aborsi.

Rekomendasi akun instagram untuk mempelajari aborsi

@safe_abortion, @shoutyourabortion, @abortionsupportnetwork, @ipas_id, @womenonweb.id, @safeabortion_asap, @rifkaannisa_wcc, @perkumpulan.samsara,

Previous
Previous

Alana: Penokohan Androgini dalam Film Sri Asih

Next
Next

Kajian Perempuan Muda Indonesia Masih Bias Barat, Lihat Perempuan sebagai Korban